Reklamasi di Sario Tumpaan, Manado, Sulawesi Utara (Sulut) kembali mendapat perlawanan warga dan nelayan. Pasalnya, perluasan lahan oleh PT Kembang Utara, menghilangkan fungsi ruang terbuka pantai itu. Padahal, sudah ada kesepakatan mediasi para pihak difasilitasi Komnas HAM, September 2010. Dampaknya, sejak akhir 2013, nelayan tidak bisa melaut. Merekapun menolak reklamasi pantai, meski penimbun mendapat pengawalan polisi.
Penolakan Aksi penolakan kembali bergejolak, pada Senin-Selasa (18-19/8/14). Kala itu, warga yang menyaksikan penimbunan pantai langsung menghadang pengemudi eskavator. Warga merasa, sebagai pihak terdampak reklamasi tidak pernah ikut proses pengambilan keputusan.
Bahkan, pada Selasa, oknum kepolisian sektor Sario terlibat saling dorong dengan warga. Keadaan ini dipicu oknum polisi tersinggung aksi warga dianggap mengeluarkan makian.
Saling dorong selama beberapa menit. Polisi dari Polsek Sario, diketahui bernama Trikorawan berusaha menangkap seorang penolak reklamasi. Sayangnya, Trikorawan justru mengeluarkan makian pada penolak reklamasi. Suasana makin memanas.
Dia menilai, kepolisian tidak netral, seakan melindungi penimbun pantai. Padahal, nelayan berharap, polisi berada di posisi pengaman situasi dan mendorong berbagai pihak menyepakati kesepakatan mediasi.
Yamin Laindjong, wakil ketua Asosiasi Nelayan Tradisional (Antra) Sulut, menyatakan, tindakan kepolisian merupakan intimidasi baik kekerasan fisik dan psikologi. “Sebab, beberapa di antara polisi terlihat membawa senjata api.”
Reklamasi Pantai Sario Tumpaan, katanya, melanggar kesepakatan para pihak dalam mediasi oleh Komnas HAM, September 2010. “Mediasi menyepakati pemanfaatan ruang terbuka pantai untuk nelayan Sario. Saat ini, timbunan batu meghalangi perahu nelayan melaut.”
Sejak November 2013, sejumlah nelayan tidak lagi bisa melaut. Parahnya, bukan melibatkan nelayan membicarakan tapal batas, Kembang Utara dan Pemerintah Manado, malah mengeluarkan perjanjian kerja sama (PKS) pada 2013. “Perjanjian itu membahas reklamasi di Sario Tumpaan.”
Hingga kini, para pihak yang terlibat mediasi belum pernah membicarakan perihal tapal batas reklamasi pantai. Dalam mediasi 2010, ruang adalah 40 meter dari titik batas tanah milik pemerintah daerah ditarik ke utara, ke titik batas reklamasi Kembang Utara.
Namun, belum disepakatin titik batas, ditindaklanjuti pemerintah Manado dengan pembuatan PKS 2013. Keadaan ini, membuat nelayan menuding pemerintah kota ikut melanggar kesepakatan perdamaian 2010.
Pemerintah kota pasal enam memiliki tugas, pertama, menjamin kesepakatan perdamaian. Kedua, menjamin ruang terbuka pantai tidak dalam persoalan hukum. Ketiga, akan menyelesaikan permasalahan hukum jika ada pihak lain menggugat dan atau mempersoalkan ruang terbuka Pantai Sario Tumpaan.
“Konflik hari ini merupakan kegagalan pemerintah dalam menjaga perjanjian damai.”
Dalam pasal 7, disebutkan jika ada yang belum diatur, akan diputuskan para pihak dengan musyawarah. “Nelayan tak dilibatkan dalam pembahasan mengenai reklamasi adalah salah satu bentuk pelanggaran kesepakatan perjanjian damai.”
Reklamasi pantaipun tak memiliki izin jelas. Penilaian itu didasari surat edaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 10 April 2014.
Dalam surat itu, reklamasi di Pesisir Malalayang II dan Sario Tumpaan, dapat kami sampaikan bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan, u.p Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau kecil, KKP, belum pernah menerima dokumen-dokumen persyaratan proses reklmasi.
“Jadi, surat tertulis baik yang tanggapan atau rekomendasi terhadap reklamasi belum pernah diterbitkan,” demikian bunyi surat KKP kepada Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara).
Marthin Hadiwinata, koordinator bidang Advokasi Hukum dan Kebijakan Kiara, mengatakan, nasib nelayan Sario kontradiksi dengan suasana kemerdekaan RI beberapa hari lalu.
“Dalam suasana hari kemerdekaan Indonesia, nelayan tradisional tetap tidak merdeka mengakses ruang publik akibat reklamasi,” katanya Kamis (21/8/14).
Dia mengatakan, reklamasi di Sario Tumpaan bentuk pelanggaran hak publik dalam mengakses laut. Pelanggaran ini terjadi di reklamasi sekitar 23.277 meter di Pantai Sario Tumpaan. “Izin bentuk PKS 2013 ditandatangani Pemerintah Manado diwakili Sarundajang selaku Pejabat Walikota Manado dan Kembang Utara diwakili Jeffry Putra Wijaya.”
Kiara juga menyesalkan keterlibatan aparat terkesan ‘menjaga’ perusahaan. Seharusnya, mereka berfungsi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat.
Kembang Utara diwakili Anto dan Susilo Sukiyono, menilai tindakan mereka sesuai peraturan. Kembang Utara dan pemerintah Manado telah membuat PKS 2013. “Kami bekerja berdasarkan izin pemerintah. Kalau tidak sepakat silakan lapor Pemkot,” katanya, Selasa (18/8/14).
Malahan, perwakilan Kembang Utara mengatakan, seluruh wilayah pantai di Manado merupakan milik pemerintah kota. Jika pemerintah menghendaki penimbunan pantai, tidak ada satu pihak pun bisa menghalangi.
Setelah berdebat dengan nelayan, perwakilan Kembang Utara berjanji menghadirkan pemerintah kota di lokasi konflik. Sayangnya, upaya pencarian solusi tidak kunjung terrealisasi. Para pihak bersengketa belum sempat duduk bersama, reklamasi pantai kembali berlangsung.
Komnas HAM, sejak akhir tahun menyurati Kapoltabes Manado terkait konflik yang berulang kali. Pada 19 November 2013, Komnas HAM melalui Sandra Moniaga mendesak kepolisian untuk menjaga suasana kondusif di lapangan.
Pada 17 Desember 2013, Komnas HAM mendesak walikota Manado. Pertama, Kembang Utara segera menghentikan sementara reklamasi di wilayah sengketa. Kedua, mendorong kesediaan para pihak untuk kembali duduk bersama membahas perbedaan pendapat mengenai kesepakatan perdamaian dan penambahan atau revisi kesepakatan perdamaian, jika diperlukan.
Penolakan reklamasi di Sario berlangsung sejak 2009. Saat itu, reklamasi diduga berpotensi memberi dampak negatif pada masyarakat pesisir, khusus nelayan, seperti, kerusakan dan hilangnya infrastruktur profesi kenelayanan, kerugian dan ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan dan pelanggaran UU.
Konflik di tataran lokal, yang tak kunjung menemui kata sepakat, membuat nelayan memilih Komnas HAM menjadi fasilitator penyelesaian konflik reklamasi.
0 komentar:
Posting Komentar