Hal ini menimbulkan sisa pertanyaan, “Dimana tempat ikan sekarang berbiak dan hidup saat pantai tidak lagi terdapat mangrove, tanpa karang, tanpa padang lamun?” tanya Alan Koropitan, seorang ahli biologi kelautan dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
“Pembangunan (yang dilakukan) manusia berpengaruh kepada ikan,” ungkapnya. “Sulit untuk menanam kembali mangrove di kondisi seperti ini; dan sekali ditanam, sulit untuk mencegah orang menebangnya.”
Menurut Koropitan, terdapat satu solusi konservasi yang mungkin tepat untuk wilayah pantai yang mengalami pesatnya urbanisasi: “apartemen untuk ikan”.
Benar-benar apartemen secara harfiah. Dinyalakan oleh listrik, satu kompleks “apartemen” dari cinder block yang berdesing secara digital.
“Biasanya ikan tertarik dengan dua jenis kekuatan, cahaya dan akustik,” jelas Koropitan. “Pada frekuensi tertentu, ikan merasa nyaman … seolah-olah mereka berada dalam kelompoknya.”
Apartemen ikan dengan layanan penuh ini hanyalah suatu contoh bagaimana penanganan oleh non-pemerintah berupaya menjawab masalah degradasi laut tanpa perlu lama menunggu birokrasi lamban pemerintah.
Inisiatif ini banyak bertebaran dan beragam, mulai dari upaya memelihara kuda laut di keramba jaring lepas pantai hingga pelatihan bagi otoritas pedesaan di Lombok dan Flores untuk menyimpan catatan pendaratan ikan yang lebih baik. Proyek-proyek tersebut disponsori oleh banyak pihak, dari departemen universitas hingga lembaga non-profit internasional, dari skema dewan desa hingga corporate social responsibility (CSR). Dengan sumber sponsor yang beraneka seperti itu, tak heran efektivitas proyek juga sangat bervariasi.
Sebagai contoh, beberapa nelayan Sulawesi Selatan, direkrut oleh Mars (sebuah perusahaan coklat) dalam memelihara kima, ikan badut dan kuda laut di stasiun penelitian kelautan Universitas Hasanuddin di Pulau Barang Lompo. Pulau yang berjarak dua puluh kilometer lepas pantai Makassar ini adalah salah satu dari banyak tempat yang dikenal sering menggunakan bom rakitan dan larutan sianida untuk menangkap ikan, membunuh karang dan memberikan tekanan yang lebih besar pada ekosistem.
Tempat pemijahan ini, merupakan jawaban untuk membendung praktik-praktik perusakan lingkungan dengan tawaran solutif mata pencarian alternatif dan stok ulang dari spesies yang sering dipancing.
“Pergi melaut OK, tapi capek,” tutur ST Syarifuddin saat menggosok bagian bawah tangki semen yang dipenuhi kima seukuran pot bunga. “Saya lebih suka pekerjaan ini, lebih nyantai.”
Sejurus kemudian, Syarifuddin pun sibuk menyemprot tangki dan mengisinya dengan air laut yang baru, membiarkan kerang kima membuka cangkangnya lebar-lebar sembari memainkan warna biru bibirnya. Bekerja di lembaga penelitian Universitas, Syarifuddin belajar membedakan dan mengisolasi kuda laut yang sakit dari yang sehat, menciptakan kondisi yang sesuai bagi ikan anemon untuk kawin, dan mengidentifikasi tahap siklus hidup kima yang langka -semua dipelajari olehnya tanpa perlu meninggalkan kampung halamannya.
“Kita cenderung berpikir mencari solusi lewat teknologi ‘keras’, tapi kita juga perlu mencari teknologi ‘lunak’ seperti pendidikan dan keterampilan teknis,” jelas Dewi Badawing, profesor biologi kelautan asal Universitas Hasanuddin.
Lewat berbagai bantuan, termasuk dari Pemda dan Mars, upaya budidaya ini ditujukan untuk melindungi bahan baku untuk bisnis makanannya, hal yang turut mendukung pengadaan fasilitas di Barang Lompo. Tempat pemijahan milik universitas merupakan awal yang menjanjikan, meski saat ini baru mampu mempekerjakan dua dari ratusan orang yang tinggal di Pulau Barang Lompo.
Sementara itu, permintaan produk ikan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dari Amerika dan Eropa telah menimbulkan pemikiran ulang tentang rantai pasokan global. The Sustainable Fisheries Partnership (SFP), sebuah LSM yang fokus pada rantai bisnis lestari, telah bermitra dengan perusahaan makanan besar untuk proses peningkatan data perikanan dan mendorong perusahaan untuk belajar mengenai “perikanan berkelanjutan.”
Gayung bersambut, perusahaan Indonesia yang tertarik untuk mengakses pasar yang sadar lingkungan mulai mempertimbangkan proyek peningkatan perikanan, dan berharap mereka dapat lulus penilaian sertifikasi internasional yang dilakukan oleh Marine Stewardship Certification (MSC).
Tetapi upaya peningkatan kapasitas yang keberlanjutan berarti memerlukan upaya bagi kerja keras untuk meyakinkan pejabat pemerintah, pejabat perindustrian dan para nelayan, untuk menelan “pil pahit”, seperti mengurangi jumlah tangkapan atau menghentikan sama sekali penangkapan ikan untuk suatu siklus.
Banyak ahli yang bersikukuh bahwa mengurangi tangkapan ikan di Indonesia adalah cara satu-satunya untuk mengembalikan jumlah produksi ikan tangkap alam agar dapat kembali pulih mendekati keberlanjutannya.
Pendapat tersebut tentunya menjadi dilema. Di satu sisi jika langkah keberlanjutan tidak menghasilkan nilai ekonomi yang cepat atau sepadan, langkah tersebut tidak akan diikuti, sebaliknya jika mengabaikan langkah tersebut berarti sektor perikanan kedepannya akan total runtuh.
Sementara itu, Koropitan dan tim IPB tengah berupaya membawa hasil uji coba apartemen ikan kepada Pemda.
“Belum ada data pada efek jangka panjang apartemen lepas pantai pada populasi ikan atau ekosistem lokal. Namun, sejumlah dan berbagai ikan tertarik dengan apartemen,” jelas Roza Yusfindayani, anggota tim IPB yang melakukan pengamatan selama empat bulan di pantai Jawa Barat.
Di dalam apartemen semen, ikan baronang terlihat tampak asik berenang, cumi-cumi terlihat bertelur, ikan ramora membersihkan diri mereka dengan menggesekan badannya ke pipa logam dan ikan tuna berenang bergerombol.
Apartemen juga menjamin hak penangkapan ikan bagi masyarakat setempat, baik saat cuaca buruk maupun cuaca cerah. Fondasi apartemen merobek jala trawl yang lewat yang mencoba untuk menangkap ikan.
“Ketika cuaca buruk, nelayan tidak perlu melaut sejauh empat mil lagi. Struktur ini juga dapat membantu nelayan untuk lebih selektif, mereka memilah ikan dan meninggalkan ikan yang masih kecil,” tutur Koropitan antusias.
Semua proyek ini masih berupa rintisan, mereka masih dalam tahap uji coba. Untuk tingkat lebih lanjut ke tingkat nasional, pemerintah mungkin harus dilibatkan. Koropitan – seorang penasehat Bapenas – telah berupaya untuk menambahkan pembangunan apartemen dalam blue print pembangunan pesisir nasional, meski ditolak karena alasan terlalu teknis, ia mencoba optimis hal ini bisa dimasukkan ke strategi daerah.
***
Dengan jumlah hanya dua persen dari PDB Indonesia, perikanan dan akuakultur saat ini hanya berkontribusi kecil bagi perekonomian nasional. Namun dua pertiga dari 200 juta orang bangsa ini hidup di pantai. Banyak dari mereka, sering berada di ujung bawah distribusi pendapatan, mengandalkan protein dan penghidupan mereka dari ikan. Perairan laut Indonesia juga terletak di jantung Coral Triangle, suatu wilayah yang menjadi rumah untuk keanekaragaman karang dan ikan yang banyak dikenal dunia.
Selain dari kepentingan ekologi dan sosial, sektor perikanan Indonesia telah lama diabaikan oleh pemerintah. Hanya setengahnya saja dari ikan yang ditangkap di pelabuhan utama dilaporkan. Para nelayan secara ilegal menggunakan bom dan sianida untuk menangkap ikan dan sangat jarang dibawa hingga ke pengadilan karena pelanggarannya, alih-alih mereka lepas saat pra-sidang atau dengan suap.
Jutaan orang Indonesia semakin sering menggunakan jalan pintas semacam itu untuk menghidupi keluarga mereka, dengan menggunakan sumber daya yang paling tersedia di depan mereka: perikanan dengan akses terbuka di depan mereka. Dengan beberapa dolar per kilogram untuk ikan mati dan sebanyak 30 dolar (360.000 rupiah) per kilogram untuk ikan hidup, mereka berusaha untuk mengikuti gaya hidup lebih berkelas seperti yang mereka lihat di teve.
Pemanenan tak terkendalikan ini tidak hanya merusak secara ekologis, tetapi juga picik, merusak sumber daya jangka panjang yang diandalkan masyarakat pesisir. Untuk menghentikan kerusakan, Indonesia perlu mengendalikan tingkat terkurasnya populasi ikan.
Tidak juga berarti penghentian secara kejam untuk semua praktik penangkapan, tetapi panen ikan harus diatur, baik secara geografis, melalui “zona larangan tangkap,” dan sementara, dengan larangan memancing selama musim pemijahan tiap spesies. Dan sekali diatur, maka hukum benar-benar perlu ditegakkan.
Agar semuanya dapat berfungsi, masyarakat harus merasa bahwa mereka memiliki kepentingan dalam perikanan yang diatur lebih baik. Tokoh lokal dapat direkrut dalam upaya penegakan dan dihargai atas kontribusi mereka. Masyarakat miskin di pesisir juga perlu ditunjukkan jalan keluar dari keterbergantungan pada sektor perikanan yang semakin menurun.
Pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik akan membantu, demikian pula mata pencaharian alternatif seperti ekowisata dan budidaya ikan hias tertentu. Meskipun demikian, tak satu pun solusi tersebut di atas harus diperlakukan sebagai suatu pil mujarab untuk menjawab seluruh masalah.
* Melati Kaye, menulis untuk program Mongabay.Org Special Reporting Initiative Fellow, dibawah aturan Creative Commons Attribution-Non Derivatives 4.0 International License. Tulisan ini adalah bagian keempat dari seri tulisannya yang dipublikasikan di Mongabay. Tulisan sebelumnya dapat dilihat di sini: http://www.mongabay.co.id/2014/07/12/kisah-dua-ikan-pancing-sianida-dan-para-bos-asing-di-pesisir-sulawesi-bagian-i/
http://www.mongabay.co.id/2014/08/09/kisah-dua-ikan-perebutan-sarden-di-selat-bali-bagian-2/
http://www.mongabay.co.id/2014/08/14/kisah-dua-ikan-tantangan-berat-menunggu-bagi-masa-depan-pengelolaan-perikanan-laut-di-indonesia-bagian-3/
Tulisan ini diterjemahkan oleh: Hilda Lionata
Sumber: Mongabay.co.id
0 komentar:
Posting Komentar