-Briefing wajib. bagi yang gak briefing langsung hub. assisten. karena ada pre-tesnya.
-Buku Panduan
DOWNLOAD
untuk cover panduan n laporan akan dikoordinir/angkatan jangan ngeprint sendiri.
Cover : biru
Selasa, 30 September 2014
Minggu, 21 September 2014
Jumat, 19 September 2014
PJ AP BRAWIJAYA 2013
>>>Kating: Azmi
No. Hp: 087752229221
Facebook: Muhammad Naufan Azmi
>>>Wakil Kating: Erga
No. Hp: 08813321416
Facebook: Ergha Rhizmahadi (Ergha R)
>>>PJ Advokasi: Riggel
Tugas: memberikan info2 tentang ukt dll.
No. Hp: 089676431249
Facebook: Riggel Dwi
>>>PJ Akademik: Sudeni
Tugas: memberikan info2 tentang akademik, praktikum dll.
No. Hp: 085745903653
Facebook: Sudeni Pratama
>>>PJ Kemahasiswaan: Ical
Tugas: memberikan info2 tentang kegiatan-kegiatan kemahasiswaan dll.
No. Hp: 08990555106
Facebook: Ical Ilang
No. Hp: 087752229221
Facebook: Muhammad Naufan Azmi
>>>Wakil Kating: Erga
No. Hp: 08813321416
Facebook: Ergha Rhizmahadi (Ergha R)
>>>PJ Advokasi: Riggel
Tugas: memberikan info2 tentang ukt dll.
No. Hp: 089676431249
Facebook: Riggel Dwi
>>>PJ Akademik: Sudeni
Tugas: memberikan info2 tentang akademik, praktikum dll.
No. Hp: 085745903653
Facebook: Sudeni Pratama
>>>PJ Kemahasiswaan: Ical
Tugas: memberikan info2 tentang kegiatan-kegiatan kemahasiswaan dll.
No. Hp: 08990555106
Facebook: Ical Ilang
Selasa, 16 September 2014
Laut Kaspia, Danau Air Asin Terbesar di Dunia
Destriyana | Senin, 10 Februari 2014 12:16
Merdeka.com - Tahukah Anda bahwa Caspian Sea (atau Laut Kaspia) adalah danau air asin terbesar di Asia dan juga di dunia?
Memiliki kedalaman hingga 946 meter, panjang danau air asin ini mencapai 1.030 km dan menduduki area seluas 371.000 km persegi. Kenapa danau ini disebut laut?
Menurut Wikipedia, hal itu dikarenakan masyarakat kuno yang mendiami wilayah tersebut awalnya mengira danau air asin ini adalah lautan. Selain karena rasa airnya yang asin, wilayah Laut Kaspia sangatlah luas sehingga tak tampak seperti danau.
Kata Caspian sendiri berasal dari nama Caspi, masyarakat kuno yang tinggal di sebelah barat daya di Transkaukasia. Sementara itu, pada zaman klasik Yunani dan Persia, danau ini disebut Samudera Hyrcanian. Namun kadang-kadang di Iran, Laut Kaspia juga disebut sebagai Darya-i Xazar, dan di negara-negara yang berbahasa Turki, itu dikenal sebagai Laut Khazar.
Menariknya, Laut Kaspia memiliki karakteristik umum dari laut dan danau. Namun seperti kekayaan alam lain yang ada di muka bumi, berbagai pulau di Laut Kaspia telah mengalami kerusakan lingkungan yang parah akibat produksi minyak. Jika kerusakan itu terus terjadi, bukan tak mungkin anak-cucu kita cuma bisa melihat Laut Kaspia dari gambar saja.
Memiliki kedalaman hingga 946 meter, panjang danau air asin ini mencapai 1.030 km dan menduduki area seluas 371.000 km persegi. Kenapa danau ini disebut laut?
Menurut Wikipedia, hal itu dikarenakan masyarakat kuno yang mendiami wilayah tersebut awalnya mengira danau air asin ini adalah lautan. Selain karena rasa airnya yang asin, wilayah Laut Kaspia sangatlah luas sehingga tak tampak seperti danau.
Kata Caspian sendiri berasal dari nama Caspi, masyarakat kuno yang tinggal di sebelah barat daya di Transkaukasia. Sementara itu, pada zaman klasik Yunani dan Persia, danau ini disebut Samudera Hyrcanian. Namun kadang-kadang di Iran, Laut Kaspia juga disebut sebagai Darya-i Xazar, dan di negara-negara yang berbahasa Turki, itu dikenal sebagai Laut Khazar.
Menariknya, Laut Kaspia memiliki karakteristik umum dari laut dan danau. Namun seperti kekayaan alam lain yang ada di muka bumi, berbagai pulau di Laut Kaspia telah mengalami kerusakan lingkungan yang parah akibat produksi minyak. Jika kerusakan itu terus terjadi, bukan tak mungkin anak-cucu kita cuma bisa melihat Laut Kaspia dari gambar saja.
[des]
Sumber: http://www.merdeka.com/gaya/laut-kaspia-danau-air-asin-terbesar-di-dunia.html
Senin, 15 September 2014
Kamis, 11 September 2014
Selasa, 09 September 2014
Kisah Dua Ikan: Masa Depan Perikanan Indonesia (Bagian 4 – Tamat)
Hal ini menimbulkan sisa pertanyaan, “Dimana tempat ikan sekarang berbiak dan hidup saat pantai tidak lagi terdapat mangrove, tanpa karang, tanpa padang lamun?” tanya Alan Koropitan, seorang ahli biologi kelautan dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
“Pembangunan (yang dilakukan) manusia berpengaruh kepada ikan,” ungkapnya. “Sulit untuk menanam kembali mangrove di kondisi seperti ini; dan sekali ditanam, sulit untuk mencegah orang menebangnya.”
Menurut Koropitan, terdapat satu solusi konservasi yang mungkin tepat untuk wilayah pantai yang mengalami pesatnya urbanisasi: “apartemen untuk ikan”.
Benar-benar apartemen secara harfiah. Dinyalakan oleh listrik, satu kompleks “apartemen” dari cinder block yang berdesing secara digital.
“Biasanya ikan tertarik dengan dua jenis kekuatan, cahaya dan akustik,” jelas Koropitan. “Pada frekuensi tertentu, ikan merasa nyaman … seolah-olah mereka berada dalam kelompoknya.”
Apartemen ikan dengan layanan penuh ini hanyalah suatu contoh bagaimana penanganan oleh non-pemerintah berupaya menjawab masalah degradasi laut tanpa perlu lama menunggu birokrasi lamban pemerintah.
Inisiatif ini banyak bertebaran dan beragam, mulai dari upaya memelihara kuda laut di keramba jaring lepas pantai hingga pelatihan bagi otoritas pedesaan di Lombok dan Flores untuk menyimpan catatan pendaratan ikan yang lebih baik. Proyek-proyek tersebut disponsori oleh banyak pihak, dari departemen universitas hingga lembaga non-profit internasional, dari skema dewan desa hingga corporate social responsibility (CSR). Dengan sumber sponsor yang beraneka seperti itu, tak heran efektivitas proyek juga sangat bervariasi.
Sebagai contoh, beberapa nelayan Sulawesi Selatan, direkrut oleh Mars (sebuah perusahaan coklat) dalam memelihara kima, ikan badut dan kuda laut di stasiun penelitian kelautan Universitas Hasanuddin di Pulau Barang Lompo. Pulau yang berjarak dua puluh kilometer lepas pantai Makassar ini adalah salah satu dari banyak tempat yang dikenal sering menggunakan bom rakitan dan larutan sianida untuk menangkap ikan, membunuh karang dan memberikan tekanan yang lebih besar pada ekosistem.
Tempat pemijahan ini, merupakan jawaban untuk membendung praktik-praktik perusakan lingkungan dengan tawaran solutif mata pencarian alternatif dan stok ulang dari spesies yang sering dipancing.
“Pergi melaut OK, tapi capek,” tutur ST Syarifuddin saat menggosok bagian bawah tangki semen yang dipenuhi kima seukuran pot bunga. “Saya lebih suka pekerjaan ini, lebih nyantai.”
Sejurus kemudian, Syarifuddin pun sibuk menyemprot tangki dan mengisinya dengan air laut yang baru, membiarkan kerang kima membuka cangkangnya lebar-lebar sembari memainkan warna biru bibirnya. Bekerja di lembaga penelitian Universitas, Syarifuddin belajar membedakan dan mengisolasi kuda laut yang sakit dari yang sehat, menciptakan kondisi yang sesuai bagi ikan anemon untuk kawin, dan mengidentifikasi tahap siklus hidup kima yang langka -semua dipelajari olehnya tanpa perlu meninggalkan kampung halamannya.
“Kita cenderung berpikir mencari solusi lewat teknologi ‘keras’, tapi kita juga perlu mencari teknologi ‘lunak’ seperti pendidikan dan keterampilan teknis,” jelas Dewi Badawing, profesor biologi kelautan asal Universitas Hasanuddin.
Lewat berbagai bantuan, termasuk dari Pemda dan Mars, upaya budidaya ini ditujukan untuk melindungi bahan baku untuk bisnis makanannya, hal yang turut mendukung pengadaan fasilitas di Barang Lompo. Tempat pemijahan milik universitas merupakan awal yang menjanjikan, meski saat ini baru mampu mempekerjakan dua dari ratusan orang yang tinggal di Pulau Barang Lompo.
Sementara itu, permintaan produk ikan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dari Amerika dan Eropa telah menimbulkan pemikiran ulang tentang rantai pasokan global. The Sustainable Fisheries Partnership (SFP), sebuah LSM yang fokus pada rantai bisnis lestari, telah bermitra dengan perusahaan makanan besar untuk proses peningkatan data perikanan dan mendorong perusahaan untuk belajar mengenai “perikanan berkelanjutan.”
Gayung bersambut, perusahaan Indonesia yang tertarik untuk mengakses pasar yang sadar lingkungan mulai mempertimbangkan proyek peningkatan perikanan, dan berharap mereka dapat lulus penilaian sertifikasi internasional yang dilakukan oleh Marine Stewardship Certification (MSC).
Tetapi upaya peningkatan kapasitas yang keberlanjutan berarti memerlukan upaya bagi kerja keras untuk meyakinkan pejabat pemerintah, pejabat perindustrian dan para nelayan, untuk menelan “pil pahit”, seperti mengurangi jumlah tangkapan atau menghentikan sama sekali penangkapan ikan untuk suatu siklus.
Banyak ahli yang bersikukuh bahwa mengurangi tangkapan ikan di Indonesia adalah cara satu-satunya untuk mengembalikan jumlah produksi ikan tangkap alam agar dapat kembali pulih mendekati keberlanjutannya.
Pendapat tersebut tentunya menjadi dilema. Di satu sisi jika langkah keberlanjutan tidak menghasilkan nilai ekonomi yang cepat atau sepadan, langkah tersebut tidak akan diikuti, sebaliknya jika mengabaikan langkah tersebut berarti sektor perikanan kedepannya akan total runtuh.
Sementara itu, Koropitan dan tim IPB tengah berupaya membawa hasil uji coba apartemen ikan kepada Pemda.
“Belum ada data pada efek jangka panjang apartemen lepas pantai pada populasi ikan atau ekosistem lokal. Namun, sejumlah dan berbagai ikan tertarik dengan apartemen,” jelas Roza Yusfindayani, anggota tim IPB yang melakukan pengamatan selama empat bulan di pantai Jawa Barat.
Di dalam apartemen semen, ikan baronang terlihat tampak asik berenang, cumi-cumi terlihat bertelur, ikan ramora membersihkan diri mereka dengan menggesekan badannya ke pipa logam dan ikan tuna berenang bergerombol.
Apartemen juga menjamin hak penangkapan ikan bagi masyarakat setempat, baik saat cuaca buruk maupun cuaca cerah. Fondasi apartemen merobek jala trawl yang lewat yang mencoba untuk menangkap ikan.
“Ketika cuaca buruk, nelayan tidak perlu melaut sejauh empat mil lagi. Struktur ini juga dapat membantu nelayan untuk lebih selektif, mereka memilah ikan dan meninggalkan ikan yang masih kecil,” tutur Koropitan antusias.
Semua proyek ini masih berupa rintisan, mereka masih dalam tahap uji coba. Untuk tingkat lebih lanjut ke tingkat nasional, pemerintah mungkin harus dilibatkan. Koropitan – seorang penasehat Bapenas – telah berupaya untuk menambahkan pembangunan apartemen dalam blue print pembangunan pesisir nasional, meski ditolak karena alasan terlalu teknis, ia mencoba optimis hal ini bisa dimasukkan ke strategi daerah.
***
Dengan jumlah hanya dua persen dari PDB Indonesia, perikanan dan akuakultur saat ini hanya berkontribusi kecil bagi perekonomian nasional. Namun dua pertiga dari 200 juta orang bangsa ini hidup di pantai. Banyak dari mereka, sering berada di ujung bawah distribusi pendapatan, mengandalkan protein dan penghidupan mereka dari ikan. Perairan laut Indonesia juga terletak di jantung Coral Triangle, suatu wilayah yang menjadi rumah untuk keanekaragaman karang dan ikan yang banyak dikenal dunia.
Selain dari kepentingan ekologi dan sosial, sektor perikanan Indonesia telah lama diabaikan oleh pemerintah. Hanya setengahnya saja dari ikan yang ditangkap di pelabuhan utama dilaporkan. Para nelayan secara ilegal menggunakan bom dan sianida untuk menangkap ikan dan sangat jarang dibawa hingga ke pengadilan karena pelanggarannya, alih-alih mereka lepas saat pra-sidang atau dengan suap.
Jutaan orang Indonesia semakin sering menggunakan jalan pintas semacam itu untuk menghidupi keluarga mereka, dengan menggunakan sumber daya yang paling tersedia di depan mereka: perikanan dengan akses terbuka di depan mereka. Dengan beberapa dolar per kilogram untuk ikan mati dan sebanyak 30 dolar (360.000 rupiah) per kilogram untuk ikan hidup, mereka berusaha untuk mengikuti gaya hidup lebih berkelas seperti yang mereka lihat di teve.
Pemanenan tak terkendalikan ini tidak hanya merusak secara ekologis, tetapi juga picik, merusak sumber daya jangka panjang yang diandalkan masyarakat pesisir. Untuk menghentikan kerusakan, Indonesia perlu mengendalikan tingkat terkurasnya populasi ikan.
Tidak juga berarti penghentian secara kejam untuk semua praktik penangkapan, tetapi panen ikan harus diatur, baik secara geografis, melalui “zona larangan tangkap,” dan sementara, dengan larangan memancing selama musim pemijahan tiap spesies. Dan sekali diatur, maka hukum benar-benar perlu ditegakkan.
Agar semuanya dapat berfungsi, masyarakat harus merasa bahwa mereka memiliki kepentingan dalam perikanan yang diatur lebih baik. Tokoh lokal dapat direkrut dalam upaya penegakan dan dihargai atas kontribusi mereka. Masyarakat miskin di pesisir juga perlu ditunjukkan jalan keluar dari keterbergantungan pada sektor perikanan yang semakin menurun.
Pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik akan membantu, demikian pula mata pencaharian alternatif seperti ekowisata dan budidaya ikan hias tertentu. Meskipun demikian, tak satu pun solusi tersebut di atas harus diperlakukan sebagai suatu pil mujarab untuk menjawab seluruh masalah.
* Melati Kaye, menulis untuk program Mongabay.Org Special Reporting Initiative Fellow, dibawah aturan Creative Commons Attribution-Non Derivatives 4.0 International License. Tulisan ini adalah bagian keempat dari seri tulisannya yang dipublikasikan di Mongabay. Tulisan sebelumnya dapat dilihat di sini: http://www.mongabay.co.id/2014/07/12/kisah-dua-ikan-pancing-sianida-dan-para-bos-asing-di-pesisir-sulawesi-bagian-i/
http://www.mongabay.co.id/2014/08/09/kisah-dua-ikan-perebutan-sarden-di-selat-bali-bagian-2/
http://www.mongabay.co.id/2014/08/14/kisah-dua-ikan-tantangan-berat-menunggu-bagi-masa-depan-pengelolaan-perikanan-laut-di-indonesia-bagian-3/
Tulisan ini diterjemahkan oleh: Hilda Lionata
Sumber: Mongabay.co.id
Kisah Dua Ikan: Tantangan Berat Menunggu Bagi Masa Depan Pengelolaan Perikanan Laut di Indonesia (Bagian 3)
Jadi mengapa Indonesia memerlukan waktu lama untuk membentuk kementerian kelautan?
Selama 32 tahun pemerintahan Soeharto yang akhirnya digulingkan, semua kekuasaan terpusat di perkotaan Jawa dan elit militer. Pulau-pulau terluar dan desa-desa pesisir, tempat bermukimnya sebagian besar nelayan, nyaris terabaikan. Bahkan menurut perkiraan Bank Pembangunan Asia, hampir satu dari dua orang Indonesia yang hidup dengan pendapatan kurang dari dua dolar (sekitar 24.000 rupiah) perhari, adalah mereka yang hidup di kepulauan Maluku dan Papua.
Paska gelombang reformasi, KKP yang baru terbentuk itupun langsung bergerak untuk mengejar ketertinggalannya. Program desentralisasi dalam bidang perikanan diterjemahkan dalam langkah-langkah nyata seperti menambah jumlah kapal patroli di pesisir laut, perekrutan para petugas di tingkat lokal, membangun terumbu karang buatan di sisa puing karang yang telah dibom, stok ulang dasar pesisir dengan kima, dan penyediaan pinjaman nelayan untuk membangun kapal yang lebih besar, -yang dilengkapi GPS, yang memungkinkan mereka berlayar lebih jauh di Samudera Hindia.
Semua hal tersebut patut dihargai, tutur Yvonne Sadovy, ahli biologi kelautan University of Hong Kong. Namun, upaya tersebut tidak cukup untuk menyentuh ke akar krisisnya, yaitu hilangnya spesies dan praktik penangkapan ikan yang turut merusak lingkungan.
Sadovy, ahli ikan karang Asia Tenggara, sedikit bosan mendengar penjelasan yang masih melulu berkutat sekitar argumen “manajemen yang lebih baik adalah solusi penyelesaian masalah”; seperti “budidaya perikanan”, “kawasan konservasi”, “terumbu buatan dan re-stoking”. Menurutnya, solusi ini belumlah sampai menyentuh akar permasalahan yang solid.
Sadovy dan para ahli lainnya meyakini bahwa hanya lewat pengelolaan berbasis ekosistemlah maka perikanan di Indonesia dapat dikembalikan pada kondisi yang berkelanjutan. Kementerian pun mulai menyadarinya, seperti yang terlihat baru-baru ini lewat serangkaian inisiatif yang merangkul kerjasama para pihak internasional dan LSM.
Untuk mengatasi masalah secara sistematis, diperlukan jalur tiga langkah. Pertama, pemerintah perlu menilai kembali luasan over fishing dan kerusakan habitat melalui perhitungan statistik yang andal. Kedua, menempatkan angka-angka ini dalam konteksnya, -dengan memahami interaksi antar spesies yang berada dalam jaring rantai kehidupan laut; Terakhir, penyusunan batas tangkapan laut yang bijaksana, termasuk menjalankan kejelasan zona batas tangkapan yang efektif dan zona larangan tangkap.
Daftar tidak cukup sampai disini saja, yang lebih penting adalah realisasi dalam tiap tahap yang sampai sekarang masih cukup membuat hati terasa miris. Ambilah contoh data perikanan sarden yang ada di Muncar, Jawa Timur. Untuk mendapatkan data populasi ikan sarden, peneliti perlu melakukan sounders ikan dan jaring sampel. Sejauh ini survei ilmiah ini sangat jarang dilakukan di Muncar, sekitar sepuluh tahun sekali, lebih jarang dari fenomena kemunculan El Nino.
Dengan interval survei seperti itu, petugas hanya mampu mengira-ngira hasil tangkapan sarden berdasar pada hasil laporan nelayan semata. Sampel ikan hanya diambil dari keranjang sarden yang hendak berangkat ke industri pengalengan, itupun jika kendaraan pengangkutnya melewati kantor pelabuhan.
Menurut Sadovy, hal serupa juga dialami semua ikan napoleon wrasse dan kerapu yang ditangkap hidup-hidup dari perairan Sulawesi ke tujuan akhir di pasar Hong Kong. Ikan-ikan tersebut sering disalahlabeli sebagai “ikan karang” untuk menghindari pembatasan impor.
Kelalaian seperti itu lebih dari sekadar nilai ekonomis saja. Lebih penting adalah mengenali dampak apa yang bakal terjadi dalam jejaring rantai makanan tersebut. Eksploitasi berlebihan ikan sarden, yang berada dalam dasar rantai makanan, maupun ikan kerapu, yang berada sebagai puncak predator, dapat memicu efek domino bagi keseluruhan ekosistem.
Bukanlah tugas mudah untuk memantau 8 juta km persegi kawasan Zona Eksklusif Indonesia (ZEE) agar benar-benar lepas dari metode penangkapan yang merusak.
“Hanya saja kami tidak memiliki cukup kapal dan kapal yang sekarang kita miliki terlalu kecil,” jelas Johnny Banjarnahor. Johnny adalah kepala kapal patroli anti illegal fishing KKP 27, komponen penting penegakan hukum kelautan di Indonesia.
“Ketika gelombang tenang, kami patroli di perairan luar, memantau kapal pukat asing ilegal dan kapal long-line. Ketika cuaca buruk, kami merapat lebih dekat ke pulau-pulau, menargetkan para pengguna sianida dan pemboman karang. Tapi kami bukan saingan kapal asing yang lebih besar yang masih dapat kabur ke laut saat cuaca buruk. Saat kapal kami dikenali, mereka menghilang setiap kali kami mau dekati.”
Daripada diambil oleh para penyusup asing, muncullah wacana untuk membekali nelayan Indonesia dengan kapal besar yang mampu menjelajah laut lebih jauh. Jeremy Prince, peneliti utama stok ikan dari The Nature Conservancy, menyebutkan “alih-alih menambah produksi hasil laut lewat penambahan kapal, lebih baik mengurangi panen ikan sehingga stok alam dapat kembali pulih.”
Menurut Prince, model ini sangat mirip dengan upaya penghematan fiskal yang sering tidak populer. Baginya penghematan di sektor maritim akan lebih mudah terlaksana pada saat masa panen, bukan pada masa paceklik.
“Jauh lebih mudah dilakukan ketika para nelayan sudah sejahtera, sehingga mereka tidak perlu melaut dalam jangka waktu tertentu atau mau menangkap dalam jumlah yang lebih sedikit.”
“Tapi (realitanya) mana ada sih pemerintahan demokratis yang bisa meminta rakyatnya (yang miskin) untuk menahan lapar dengan iming-iming nanti akan lebih banyak ikan di masa depan,” jelasnya mengakui.
Namun demikian, rekomendasi senada pun telah muncul dari Pusat Penelitian Perikanan dan Konservasi Sumberdaya, yang telah melakukan penilaian stok ikan berbasis ekosistem. Pertama kali rekomendasi ini keluar tahun lalu untuk perikanan laut Muncar di Selat Bali.
Purwanto, peneliti senior di tim survei KKP, mengungkapkan rekomendasi untuk perikanan sarden di Muncar, yaitu: “perlu ada kontrol bagi usaha penangkapan ikan, dan perlu upaya untuk mengembangkan sumber-sumber pendapatan alternatif selama masa paceklik ikan.” Ditambahkan dalam rekomendasi itu, pentingnya pembicaraan diantara dua Pemprov, yaitu Jawa Timur dan Bali.
Namun, laporan tersebut ternyata belum sampai ke pejabat daerah seperti Pujo Hartanto, Kepala Divisi Perikanan Banyuwangi. Hanya lewat naluri dan pengalaman panjang, dia tahu kapan masa persiapan paceklik dan masa panen ikan terjadi.
“Produksi ikan naik turun, kita tidak bisa mengendalikan itu, jika nelayan tidak melaut, setidak-tidaknya mereka dapat memelihara udang lewat akuakultur,” jelasnya. Dia pun menambahkan perlunya ada upaya pembatasan penggunaan lampu sorot di laut dan perbaikan tambak udang lokal sebagai pendapatan alternatif bagi nelayan.
Di sisi lain selat, di pulau Bali, solusi yang lebih maju telah dilakukan. Di Jembrana, masyarakat mulai menanami kembali tambak udang dengan mangrove guna memulihkan spesies ikan. Di Pemuteran, Bali Utara, penduduk desa telah membangun salah satu sistem terumbu karang buatan terbesar di dunia, lewat bantuan teknis dari Jerman dan Amerika.
Penjagaan terumbu karang lewat patroli laut di Teluk Pemuteran sangatlah unik. Para pecalang menggunakan kapal patroli yang terbuat dari fiberglass, berpenampilan modern berkacamata hitam , tetapi berkombinasi ikat kepala merah tua dan sarung kotak-kotak hitam dan putih tradisional khas pecalang Bali, atau wali candi. Mereka ini merupakan bagian dari inisiatif KKP dalam merekrut tenaga patroli lokal untuk melengkapi jumlah patroli kementerian yang terbatas.
Tenaga semacam ini juga dapat ditemukan di pantai Maluku dan Lombok, dan rencana serupa untuk tempat lain di kepulauan Nusantara.
Indikator awal menunjukkan bahwa patroli pecalang laut di Pemuteran berjalan sangat baik. Lumba-lumba, yang sebelumnya telah meninggalkan teluk karena pemboman karang, telah mulai kembali dalam lima tahun terakhir ini.
* Melati Kaye, menulis untuk program Mongabay.Org Special Reporting Initiative Fellow, dibawah aturan Creative Commons Attribution-Non Derivatives 4.0 International License. Tulisan ini adalah bagian ketiga dari seri tulisannya yang dipublikasikan di Mongabay. Tulisan lainnya dapat dilihat di sini:
http://www.mongabay.co.id/2014/07/12/kisah-dua-ikan-pancing-sianida-dan-para-bos-asing-di-pesisir-sulawesi-bagian-i/
http://www.mongabay.co.id/2014/08/09/kisah-dua-ikan-perebutan-sarden-di-selat-bali-bagian-2/
http://www.mongabay.co.id/2014/08/19/kisah-dua-ikan-masa-depan-perikanan-indonesia-bagian-4-tamat/
Tulisan ini diterjemahkan oleh: Hilda Lionata
Sumber: Mongabay.co.id
Kisah Dua Ikan: Perebutan Sarden di Selat Bali (Bagian 2)
Pagi ini mereka telah membongkar panenannya di pangkalan mereka di Muncar: tujuh ton spesies sarden lokal, lemuru (Sardinella lemuru), yang dihargai oleh para agen pabrik pengalengan dermaga sebanyak 42 juta rupiah.
Sementara para agen pabrik pengalengan membereskan urusan pembeliannya, para awak kapal tampak kewalahan dikerubuti oleh para tetangga dan kerabat yang saling menawar hasil tangkapan. Para ibu pedagang ikan menggertak para makelar sementara anak-anak berandalan menyambar lemuru dalam keranjang anyaman. Pada akhirnya, para awak harus mengamankan tangkapan mereka dengan barikade manusia untuk mencegah sarden menghilang, tak terhitung, ataupun mencegah munculnya kericuhan lanjutan.
Tapi itu dulu. Malam ini, alunan lagu terdengar sumbang ketika jaring pukat diangkat dalam keadaan kosong – tidak hanya terjadi pada Sinar Indah, tetapi juga pada sebagian besar kapal lain yang masih tersisa dari armada Muncar. Cakrawala terang benderang dengan lampu-lampu kapal lain, tampak begitu menyilaukan; dan penuh sesak sehingga kapten tidak lagi dapat melihat gerombolan sarden keperakan pada permukaan hitam lautan hanya lewat penglihatan, seperti yang dulu sering mereka lakukan. Sebaliknya, mereka harus bergantung pada pesan SMS dan radio, yang kadang berujung pada kesia-siaan semalam suntuk.
Begitulah roda beruputar di hasil laut Muncar: pesta pora atau paceklik. Meski pada beberapa tahun terakhir, lebih sering jatuh pada masa paceklik. Tetapi iming-iming pesta pora cukup menggoda untuk membuat para nelayan tetap menjelajahi selat. Usaha yang pada akhirnya akan mempercepat lingkaran setan hilangnya suatu spesies.
Populasi lemuru yang hancur memiliki efek melumpuhkan seluruh mata rantai ekosistem. Ikan sarden membentuk dasar rantai makanan yang panjang hingga predator yang lebih tinggi, hingga akhirnya manusia. Dua dari tiga orang di kota Muncar merupakan nelayan ikan lemuru atau bekerja di industri terkait.
Suasana tidak selalu terlihat begitu genting di Selat Bali. Tidak lama berselang, lemuru adalah produk perikanan terbesar kedua di Indonesia yang diandalkan untuk menyediakan cukup sarden untuk mempertahankan empat aliran produk yang berbeda: produk ikan kalengan (sebagian besar untuk pasar Timur Tengah), pelet makan (untuk keramba akuakultur dan usaha perbesaran di pantai), pupuk organik (untuk pasar Jepang), dan umpan untuk kapal tuna.
“Mendapatkan 100 juta rupiah dalam satu malam itu biasa,” kenang Abidin SP, yang mengepalai Dinas Perikanan di Muncar. “Pada bulan Maret 2010, selama enam hari berturutan, 175 ton ikan dibuang per hari karena prosesor sudah mencapai kapasitas penuhnya!”
Hal ini merupakan bentuk siklus klasik roda kejayaan dan kemunduran. Pada saat sarden berlimpah, potensi ikan ini kemudian mendorong lonjakan investasi modal, di tingkat nelayan dan terutama prosesor. Kemudian saat populasi lemuru turun, arus modal pun bergerak meninggalkan nelayan dan pabrik yang kemudian saling berebut mencari upaya kembalinya modal investasi mereka.
Zainullah Baijuri, tetua orang Madura Muncang, adalah orang yang memulai perikanan laut pada tahun 1970-an di Muncang. Ia membeli satu set pasangan jaring pukat yang mampu mengangkat 40 ton. Dia akhirnya membeli empat kapal, sebelum akhirnya jatuh bangkrut. Sekarang, ujarnya, “Sepasang perahu bisa menampung 60 ton, tapi hasil laut sudah tidak lagi sebanyak dulu.”
Menurut Abidin dari Dinas Perikanan, seluruh armada saat ini menangkap kurang dari 30 ton per hari. Jumlah itu harus dibagi diantara 78 kapal yang tetap aktif (dari 190 armada saat puncaknya). Pada tingkat sekarang, pemasukan rata-rata kurang dari 24 juta rupiah per kapal, jumlah yang bahkan tidak dapat menanggung setengah dari biaya operasional satu perahu pukat per malam.
“Kita harus meninggalkan Selat dan beralih ke Samudra Hindia jika kita ingin mendapatkan ikan,” Baijuri mendesah.
Namun bagi pabrik pengalengan atau pelet, tidak ada pilihan selain untuk menambah sumber daya dan pindah. Pabrik-pabrik pengolahan tersebut memiliki usaha serius. Mereka memiliki gaji yang harus dibayar, utang untuk dilunasi, dan pasar luar negeri yang sudah mapan yang harus dilayani.
“Kami adalah pemain internasional,” Edy Sukanto, general manajer untuk pabrik pengalengan Pasific Harvest bermegah diri. “Basis pelanggan kami bukan di Indonesia. Jadi, untuk tetap berada dalam percaturan perdagangan, kita perlu pasokan yang stabil.”
Jadi, pada semester kedua tahun 2013, menurut data dari Pelabuhan Muncar, Sukanto telah mengimpor 118.560 kilo sarden dari Pakistan dan Republik Ceko, dan 37.000 kilo makarel dari Cina – yang seluruhnya hanya mengisi setengah bahan baku pabrik. “Di mana saja ada ikan, kita cari dan impor,” tandasnya dengan muram.
Pabrik Ikan Muncar telah mengolah sarden dari sumber yang jauh seperti India, Yaman dan Peru. Meskipun jalur pasokan kewalahan, industrialis lokal melipatgandakan usaha pengolahan ikan, berdekatan dengan Pelabuhan Banyuwangi. Bahkan mereka berpikir untuk menambahkan suatu pelabuhan berskala internasional untuk mempercepat ekspor dari Muncar.
Setiap pemain dalam industri lemuru sejak lama telah belajar bagaimana untuk bertahan menanggapi siklus roda berputar. Populasi sarden berdaur secara intrinsik. Biasanya jumlah ikan maksimum datang satu setengah bulan setelah puncak angin musim tenggara Juni-September. Selama musim hujan, angin timur meniup air permukaan ke pesisir, menciptakan suatu ruang vakum hingga air dingin, air kaya nutrisi dari bawah naik ke atas permukaan. Hal ini menyebabkan fitoplankton tumbuh subur, yang pada gilirannya memberi makan zooplankton yang dimangsa sarden.
Hal ini terjadi sekali, mungkin dua kali pada setiap tahun yang normal. Tapi setiap 7-12 tahun atau lebih – sebentar-sebentar dan tak terduga – sistem tekanan atmosfer khatulistiwa yang disebut El-Niño Southern Oscillation, memperpanjang proses perputaran air laut ini, menyebabkan plankton tumbuh subur selama periode antara bulan November dan Januari, memicu ledakan populasi sarden secara acak.
“Semua ikan pelagis kecil hidup baik pada tahun El Niño,” kata Alan Koropitan, peneliti utama program kebijakan kelautan di Surya Research and Education Center di pinggir daerah Jakarta. “Bahayanya adalah dengan munculnya kelebihan investasi untuk meningkatkan skala usaha ke proporsi populasi saat terjadi El Niño. Ini akan mendorong pabrik dan nelayan untuk terlalu mengeksploitasi populasi sarden di tahun produksi yang sedikit.”
Koropitan lebih lanjut menjelaskan, bahkan ketika El Nino kembali datang, yang kemungkinan menjadi tidak terduga datang dengan intensitas tinggi akibat perubahan iklim, maka El Nino akan disertai dengan angin yang jauh lebih kencang dengan ancaman badai, yang menciptakan kondisi yang buruk untuk memancing. Jadi para kapten Muncar mungkin tidak dapat mengambil keuntungan penuh juga dari membaiknya populasi lemuru.
Dalam lingkungan yang dinamis seperti ini, sangat mendesak bagi pemerintah untuk mengadopsi rezim pengelolaan perikanan berbasis ilmu pengetahuan yang mempertimbangkan ekosistem secara holistik. Pada tahun 2011, Pemerintah Indonesia memfinalkan Pendekatan berbasis ekosistem untuk Sistem Manajemen Perikanan, (Ecosystem-based Approach to Fishery Management System), sejalan dengan komitmen negara untuk inisiatif Coral Triangle (Coral Triangle Initiative), suatu perjanjian internasional yang ditandatangani bersama dengan enam negara Samudera Pasifik lainnya. Meski, Kementerian Kelautan dan Perikanan masih perlu membereskan berbagai rincian sistem baru ini untuk tingkat perikanan regional, diantaranya untuk di Selat Bali.
Namun pengelolaan secara ilmiah mutlak memerlukan kelengkapan dan kesolidatan data untuk menilai skala kesehatan bisnis perikanan. Ingat kericuhan yang terjadi di dermaga saat Sinar Indah merapat bersama hasil tangkapannya? Tidak dapat diketahui persis berapa banyak ikan yang hilang dalam keadaan kacau seperti itu. Kalikan dengan lebih dari ratusan kapal yang mengalami hal serupa dari puluhan dekade musim memancing.
Kepala Dinas Perikanan Muncar, Abidin, mengakui banyak tangkapan sarden yang tidak masuk dalam penghitungan resmi.
Eny Buchary, seorang doktor jebolan University of British Columbia, dalam disertasinya tahun 2010, mencoba mengestimasi suatu jumlah untuk menggantikan nilai ketidakpastian ini. Dia memperkirakan bahwa selama lebih dari 50 tahun (antara tahun 1950-2001) hanya sekitar 50-66 persen pendaratan lemuru di Muncar yang terhitung secara resmi.
Dari hasil amatan data perikanan selama dua dekade di Muncar, Buchary melakukan pengujian terhadap lima strategi panen yang memperhitungkan berbagai efek dampak kehadiran El Nino. Dia menyimpulkan bahwa untuk menjaga keberlanjutan tangkapan sarden di Muncar, para nelayan lokal harus mengurangi setengah dari jumlah armada yang digunakan pada tahun 2001. Untuk itu, perahu harus lebih kecil dari yang digunakan pada tahun 2001, mengurangi hari berlayar, serta menggunakan motor dengan PK yang lebih kecil.
Dengan kata lain, akan banyak nelayan setempat yang harus berubah profesi. Kapten Mastur Sowi misalnya, bahkan “mengeluarkan” diri secara sukarela. Dia mulai mencoba memelihara lobster dan ikan mas di keramba lepas pantai.
“Namun kualitasnya belum cukup baik, sehingga belum bisa untuk ekspor,” ujarnya.
Jika keadaan tidak semakin membaik, dia harus bergabung dengan kebanyakan orang lain, pergi jauh dari rumah untuk mencari pekerjaan sebagai buruh migran. Banyak juga yang sudah menggadaikan perhiasan istri mereka untuk memberi makan keluarga.
* Melati Kaye, menulis untuk program Mongabay.Org Special Reporting Initiative Fellow, dibawah aturan Creative Commons Attribution-Non Derivatives 4.0 International License. Tulisan ini adalah bagian pertama dari seri tulisannya yang dipublikasikan di Mongabay. Tulisan lainnya dapat dilihat di sini:http://www.mongabay.co.id/2014/07/12/kisah-dua-ikan-pancing-sianida-dan-para-bos-asing-di-pesisir-sulawesi-bagian-i/ http://www.mongabay.co.id/2014/08/14/kisah-dua-ikan-tantangan-berat-menunggu-bagi-masa-depan-pengelolaan-perikanan-laut-di-indonesia-bagian-3/
http://www.mongabay.co.id/2014/08/19/kisah-dua-ikan-masa-depan-perikanan-indonesia-bagian-4-tamat/
Tulisan ini diterjemahkan oleh: Hilda Lionata
Sumber: Mongabay.co.id
Kisah Dua Ikan: Pancing Sianida dan Para Bos Asing di Pesisir Sulawesi (Bagian I)
Musim badai baru saja usai, seperti biasa kapal-kapal nelayan kembali mengangkat sauh dari pulau kecil Kondingareng di kepulauan Spermonde (kepulauan Sangkarang), lepas pantai Makassar, Sulawesi Selatan. Di siang yang terik itu, Abdul Wahid bergabung bersama para nelayan lain di bawah naungan sempit jejeran rumah desa tepi pantai untuk memeriksa harga ikan harian.
Di pasar itu ikan makarel spanyol berukuran tiga-kilo dihargai 42.000 rupiah dan ikan pakol 24.000 rupiah. Namun satu-satunya harga yang sesungguhnya diminati Wahid adalah harga kerapu sunu senilai 360 ribu rupiah/kg di tempat ini, di Sulawesi. Ikan yang sama akan dihargai 1,2 juta rupiah/kg bila dalam keadaan hidup segera dibawa ke Hong Kong dengan pesawat udara atau kapal cepat.
Bagi Wahid, maestro penangkap kerapu, ia harus mampu menangkap ikannya hidup-hidup dari gua-gua karang berkedalaman kurang lebih seribu meter di bawah laut. Ia harus menangkap ikan-ikannya dalam keadaan utuh sempurna, tidak ada luka atau goresan. Hanya dalam keadaan seperti itu barulah ikannya layak disajikan di meja makan restoran mewah di Asia Timur, yang merupakan tujuan akhir mereka.
Wahid dapat melakukannya hanya dengan pancingan, kemampuan yang membuatnya terkenal bak selebriti lokal. Kerapu sunu (Plectropomus leopardus) dapat melawan, berukuran besar, berumur panjang, dan cerdik. Di tangan nelayan yang kurang terampil perangkap/bubu logam atau kait akan meninggalkan tanda-tanda perlawanan sehingga akan mengurangi nilai jual ikan.
Namun demikian kerapu terlalu menggoda untuk dilewatkan sebagai target, baik karena harga jual premiumnya dan karena mudahnya menduga musim kawin serta tempat mereka mencari makan. Jadi kebanyakan nelayan memilih untuk mengambil jalan pintas yang cepat dan handal meski ilegal, yaitu membius ikan dengan racun sianida sehingga dapat dibawa dalam keadaan hidup dan utuh.
Menurut data Kementrian Kelautan dan Perikanan, Indonesia adalah pemasok ikan karang hidup terbesar di dunia, 2.414 ton kerapu senilai 19.043.534 dolar atau sekitar 228 miliar rupiah dikirim ke Hong Kong pada tahun 2012. Beberapa pakar industri memperkirakan jumlah ekspor ikan hidup sebenarnya jauh berkali lipat lagi jika pengiriman tidak tercatat atau ilegal diperhitungkan.
Namun perdagangan yang dilakukan ini harus dibayar dengan biaya tinggi. Sistem tangkap yang tidak berkelanjutan, yang cenderung menyasar populasi predator puncak seperti kerapu akan memicu seri gangguan dalam jejaring rantai makanan di laut. Demikian pula, penurunan jumlah spesies lokal akan memaksa nelayan untuk memutakhirkan peralatan mereka serta memperluas wilayah jangkauan tangkap mereka yang pada akhirnya sering membuat mereka jatuh pada belitan para lintah darat.
Sementara itu menyirami karang dengan racun sianida juga akan menghancurkan keragaman spesies yang ada di terumbu karang (yang mana Indonesia merupakan gudangnya keanekaragaman spesies terkemuka di dunia). Terumbu yang rusak juga meninggalkan pulau yang rapuh, yang membuat pulau menjadi rawan abrasi dan mudah terhantam terjangan badai langsung.
Kerusakan dimulai pada tingkat mikro. Sianida, racun pernapasan, mengganggu hubungan simbiosis antara karang dan alga zooxanthellae yang tumbuh di permukaan karang. Karang melindungi alga dan menyediakan komponen nutrisi untuk fotosintesis. Sebaliknya, ganggang memasok oksigen dan karbohidrat sebagai bahan terbentuknya lemak karang dan kerangka kalsium karbonatnya.
Sianida menekan terjadinya fotosintesis dan menyebabkan ganggang memisahkan diri dari karang inangnya yang pada akhirnya membuat pemutihan karang. Dalam suatu percobaan pada tahun 1999 para peneliti di Sydney University menemukan bahwa karang yang direndam dalam larutan sianida selama sepuluh menit, dalam dosis setengah yang biasa dipakai oleh nelayan, akan mati dalam waktu hanya 24 jam.
Pemutihan karang oleh sianida terbukti menjadi akhir kejayaan bagi terumbu karang Kondingareng. Di luar desa tepi pantai menurut tetangga Wahid, Faizal Wahab, dulunya ada jajaran karang lepas pantai penuh dengan gerombolan ikan. Tapi kemudian para pelaku pengguna dinamit yang menyasar kumpulan ikan menghancurkan karang menjadi puing dan pengguna sianida memutihkan sisa karang yang masih ada. Akhirnya para penduduk desa menambang karang mati untuk membuat pemecah gelombang guna menopang hidup dari apa yang tersisa di pantai mereka.
Sekarang ketika badai datang, tidak ada lagi yang tersisa di pantai untuk menahan gelombang. Gelombang yang naik hingga mencapai sepuluh meter dan langsung menghantam ke rumah-rumah. “Selama musim hujan kami harus menyapu pasir yang dibawa gelombang dari balkon lantai dua kami,” ujar Wahid sambil tertawa getir.
Badai seperti itu juga cepat menggerogoti tanah. Wahid menatap sekitar 20 meter ke laut: “pantai kami dulunya sampai sana”. Analisa data satelit mengkonfirmasi pernyataan ini dimana sejak 2005 Kondingareng telah kehilangan 23 persen daratannya, sebagaimana hasil penelitian Profesor Dewi Badawing dari Universitas Hasanuddin Makassar.
Bila sianida menyusahkan terumbu, apalagi bagi kehidupan spesies kerapu. Napoleon Wrasse, jenis ikan kerapu raksasa bersirip tinggi yang merupakan jenis yang paling mahal, menjadi semakin mudah ditemukan oleh nelayan. Ahli biologi Yvone Sadovy dari Hong Kong University menyebutkan wrasse hidup lebih lama dari ikan karang lain dan memiliki tempat makan dan siklus pemijahan yang dapat diprediksi.
“Kerapu besar memangsa ikan kerapu yang lebih kecil, yang pada gilirannya membuat jumlah mereka semakin jauh di bawah garis populasinya. Jadi mengambil kerapu yang lebih besar memiliki efek melumpuhkan dalam keseimbangan jejaring rantai makanan,” tutur Sadovy yang juga merupakan peneliti ikan kerapu dan wrasse, jenis yang tergolong hampir punah dalam daftar IUCN ini.
Terlebih lagi dengan menargetkan jenis ikan terbesar dari antara jenis ikan-ikan besar, para pengguna sianida mengacaukan kehidupan seks kerapu yang rumit. Menurut Sadovy, ikan ini adalah “hermafrodit protogynous” yang artinya mereka mengubah kelamin di sepanjang perjalanan siklus hidup mereka. Mereka menghabiskan dua tahun pertama mereka memijah sebagai seekor betina dan kemudian beralih menjadi jantan. Jadi penangkapan ikan yang besar dalam populasinya akan mendorong rasio jenis kelamin condong ke satu sisi yang akan mempercepat berkurangnya jenis tersebut.
Ketika populasi kerapu Spermonde hancur nelayan harus melaut lebih jauh lagi. Mereka mendaftar untuk berlayar selama tiga sampai empat bulan hingga ke tepi timur samudera di Indonesia, yang selanjutnya akan semakin memperluas lingkup kerusakan lingkungan yang dibuat. Karena usaha melaut tersebut berada di luar kemampuan kebanyakan para kapten lokal, mereka mencari dana dari para “bos” di luar, seperti bos dari Thailand atau Hong Kong.
Seorang nelayan pengguna sianida (yang namanya dirahasiakan agar tidak dipenjara untuk ketiga kalinya) mengingat bagaimana dia direkrut dalam usaha tersebut ketika para makelar ikan pertama kali datang ke pulau itu pada tahun 2007. Seperti perusahaan modern lainnya, mereka menguji karyawan baru mereka dengan masa magang. Setelah mengajarinya beberapa teknik, mereka kembali tiga bulan kemudian untuk memeriksa kualitas ikan kerapu yang dia tangkap.
Para bos sianida meniru cara lain yang digunakan perusahaan-perusahaan modern yaitu memberi modal yang rendah. Irendra Rajawali, seorang peneliti Indonesia di Leibniz Center for Tropical Ecology di Bremen, Jerman, telah membuat studi tentang jaringan patron dalam perdagangan kerapu. Satu “bos besar” mengatakan pada Rajawali bahwa ia sengaja memberikan uang dan bensin yang terbatas kepada nelayan sehingga mereka tidak dapat pulang kembali ke Spermonde dengan mudah, akibatnya “mereka tidak punya pilihan lain kecuali terus melaut.”
Namun bukan juga berarti mereka memiliki banyak pilihan. Dengan adanya perubahan iklim para nelayan mungkin pergi melaut berbulan-bulan karena tidak ada gunanya tinggal di rumah antara bulan November dan Maret. Badai diperkirakan akan semakin parah dan musim badai yang lebih lama di Spermonde merupakan akibat dari meningkatnya suhu lautan. Wawancara terhadap rumah tangga yang dilakukan Leibniz Center menemukan bahwa penduduk desa terbelenggu di rumah selama musim badai, mereka bahkan tidak mampu melakukan satu jam perjalanan dengan perahu ke Makassar di daratan Sulawesi untuk membeli kebutuhan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah ada masa depan bagi para nelayan Spermonde? Dengan ikan yang habis, badai yang memburuk dan terumbu karang sebagai pelindung badai yang sudah hancur, akankah nelayan pada akhirnya terpaksa bermigrasi dari kepulauan ini?
Untuk mencegah masa depan seperti itu diperlukan peraturan perikanan yang jauh lebih baik. Pemerintah dan masyarakat setempat harus menegakkan larangan terhadap pemboman dan penggunaan sianida. Meskipun banyak nelayan berakhir di penjara untuk kejahatan-kejahatan ini, jarang ada yang dibawa hingga diproses ke pengadilan. Sebaliknya, mereka bisa diselamatkan oleh para “bos” dan segera dapat balik melaut.
Suatu proses pemantauan penangkapan yang lebih baik juga akan mampu menjelaskan nilai tambah di setiap tahap pasar ikan hidup, mulai dari ikan ditangkap di terumbu hingga ia berakhir di wajan. Hal ini pun akan memberikan daya dorong bagi nelayan dan pemerintah atau LSM guna menetapkan perdagangan dan pembagian keuntungan yang lebih adil.
Pemantauan yang lebih baik juga akan memberikan dasar untuk rezim pengelolaan perikanan yang lebih ilmiah. Pendugaan siklus hidup kerapu dapat digunakan sebagai basis perencanaan untuk membuat sebuah sistem zona non-pancing dan membuat pembatasan musiman untuk menghentikan, bahkan pada akhirnya membalikkan jumlah populasi kerapu yang telah terlanjur hilang.
Meskipun demikian jika hal tersebut terlaksana maka jumlah armada penangkapan ikan Spermonde harus dikurangi, hingga hanya segelintir tukang sangat terampil seperti Abdul Wahid yang tersisa. Sebagian besar nelayan kerapu, termasuk para nelayan pengguna sianida, harus dicarikan alternatif mata pencarian usaha lainnya.
Namun sejauh ini proses ini sudah berlangsung, banyak generasi nelayan muda atas kemauan sendiri beralih dari menangkap kerapu ke berburu teripang di sepanjang perbatasan laut antara Australia dan Indonesia. Adapun yang lainnya mencoba peruntungan mereka di budidaya yang lebih berkelanjutan seperti yang disponsori oleh universitas ataupun yang berasal dari inisiatif perusahaan.
* Melati Kaye, menulis untuk program Mongabay.Org Special Reporting Initiative Fellow, dibawah aturan Creative Commons Attribution-Non Derivatives 4.0 International License. Tulisan ini adalah bagian pertama dari seri tulisannya yang dipublikasikan di Mongabay. Tulisan selanjutnya dapat dilihat di sini:
http://www.mongabay.co.id/2014/08/09/kisah-dua-ikan-perebutan-sarden-di-selat-bali-bagian-2/
http://www.mongabay.co.id/2014/08/14/kisah-dua-ikan-tantangan-berat-menunggu-bagi-masa-depan-pengelolaan-perikanan-laut-di-indonesia-bagian-3/
http://www.mongabay.co.id/2014/08/19/kisah-dua-ikan-masa-depan-perikanan-indonesia-bagian-4-tamat/
Tulisan ini diterjemahkan oleh: Hilda Lionata
sumber: Mogabay.co.id
Senin, 08 September 2014
Memanfaatkan Sampah Sambil Menyelamatkan Mangrove
Di tangan masyarakat kampung nelayan di kawasan Gunung Anyar Tambak, Surabaya, Jawa Timur ini, sampah menjadi sesuatu yang membawa keuntungan tidak hanya secara ekonomi, melainkan juga bagi kesehatan masyarakat setempat.
Melalui Bank Sampah yang dibentuk masyarakat dan diberi nama Bank Sampah Bintang Mangrove, masyarakat tidak hanya diajak untuk memilah dan mengoah sampah rumah tangganya sendiri, melainkan juga diajak untuk lebih peduli terhadap kebersihan lingkungan.
“Setiap harinya masyarakat diajak untuk mengumpulkan sampahnya sendiri, memilahnya dan menjual sampah yang sudah kami tentukan kategorinya di Bank Sampah Bintang Mangrove ini,” ujar Kusniyati, salah satu kader lingkungan Kampung Gunung Anyar Tambak.
Sebanyak 8 orang kader lingkungan di kampung itu membentuk Bank Sampah Bintang Mangrove, yang menjadi tempat aktivitas ekonomi sekaligus wadah bagi masyarakat untuk menjaga serta melestarikan lingkungan. Melalui kegiatan mengumpulkan sampah, masyarakat yang awalnya hidup serba terbatas ini mampu bangkit untuk memberdayakan diri, sekaligus menumbuhkan kecintaan terhadap lingkungan.
Diungkapkan oleh Kusniyati, kegiatan mengumpulkan sampah ternyata mampu menggerakkan warga masyarakat yang awalnya kurang peduli terhadap lingkungan dan kebersihan, menjadi lebih peduli terhadap lingkungannya. Aktivitas memilah dan mengumpulkan sampah bahkan mampu menjadi sarana sekaligus solusi bagi persoalan ekonomi masyarakat yang hidup serba terbatas.
“Warga mencari sampah kemudian kita yang menimbang dan memilah. Selanjutnya kita setor ke pengepul, sebagian bisa didaur ulang. Jadi kita melakukan ini secara sosial,” kata Kusniyati.
Sampah yang terkumpul diantaranya plastik, seng, kayu, kardus, serta jenis sampah lainnya dikelompokkan sesuai jenisnya, untuk kemudian didaur ulang bagi yang masih bisa digunakan, serta disetor ke pengepul besar.
“Sebagian kita buat berbagai kerajinan tangan atau produk daur ulang, seperti vas bunga, taplak meja, hiasan dan pernak-pernik lainnya,” tutur Kusniyati.
Selain dapat menghasilkan uang untuk menambah biaya kebutuhan rumah tangan, Kusniyati mengatakan bahwa sampah yang dikumpulkan dapat dimanfaatkan untuk banyak keperluan. sampah yang terkumpul dapat dimanfaatkan untuk membayar biaya listrik PLN, untuk simpan pinjam, biaya anak sekolah, serta untuk berobat bagi yang sakit.
“Disini sampah bisa untuk berobat, bayar sekolah anak, untuk tambahan belanja, sampai untuk bayar listrik,” lanjutnya.
Sebagian besar warga kampung Gunung Anyar Tambak berprofesi sebagai nelayan, yang menggantungkan hidupnya dari hasil tangkapan ikan di laut. Namun perubahan iklim maupun cuaca yang kurang bersahabat membuat nelayan beserta keluarganya tidak selalu mendapatkan hasil ekonomi dari kegiatan melaut. Kesadaran masyarakat termasuk nelayan akan pentingnya menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan, menjadikan nelayan juga ikut terlibat mengumpulkan sampah plastik yang juga terdapat di laut dan muara suangai.
“Nelayan kan berangkat ke laut mencari ikan, kalau memang disana itu ikannya sepi dan mereka pulang tidak mendapatkan ikan, maka mereka langsung mencari sampah di laut. Jadi pulang mereka bawa sampah, kemudian kita timbang di sini,” jabar Kusniyati.
Kampung nelayan itu memang berada dekat dengan muara sungai yang membatasi wilayah Kota Surabaya dengan Kabupaten Sidoarjo, terdiri dari hutan mangrove atau bakau yang masih cukup terjaga keasriannya. Deretan perahu nelayan berjajar rapi di pingir sungai yang terlihat bersih, disepanjang muara yang ditumbuhi tanaman mangrove, yang diatasnya masih dapat dilihat aktivitas nelayan membersihkan perlengkapannya, maupun menumpuk sampah plastik dan sampah jenis lainnya untuk kemudian dijual ke Bank Sampah Bintang Mangrove.
Tidak jauh dari dermaga kecil nelayan Gunung Anyar Tambak, terdapat bangunan kecil semi permanen yang tidak lain adalah Bank Sampah Bintang Mangrove. Disitulah ditumpuk aneka aneka sampah plastik dan jenis sampah yang lain yang disetorkan oleh warga maupun nelayan dari melaut.
Nelayan serta warga kampung Gunung Anyar Tambak dalam satu bulan mampu mengumpulkan sampah hingga satu ton, yang kebanyakan merupakan sampah plastik yang diperoleh dari sungai dan laut.
“Iya banyak sekali sampah dari laut, jadi meskipun sudah diambil segitu banyak masih tetap ada saja. Itu karena masih banyak warga yang membuang sampah ke sungai, termasuk warga Sidoarjo, karena hulu sungai ini kan dari Sidoarjo juga,” kata Parman salah satu nelayan yang sedang membereskan perahunya.
Dikatakan oleh Ketua Bank Sampah Bintang Mangrove, Ahamad Sunaryo, meski tidak digaji seperti layaknya pekerja, kader lingkungan yang ada di kampung Gunung Anyar Tambak ini tetap menjalankan tugasnya dengan tekun dan senang hati. Lingkungan yang bersih dan sehat, menjadi ganjaran yang layak disyukuri oleh Sunaryo dan rekan-rekannya.
“Harapannya kita sih kita tidak muluk-muluk, kerja kita memang berangkat dari niat untuk membersihkan lingkungan. Kita tidak minta apa-apa, yang penting lingkungan kita bersih sudah senang kita,” kata Ahmad Sunaryo.
Keberadaan sampah plastik yang banyak mencemari lingkungan, khususnya di sekitar hutan mangrove Gunung Anyar, merupakan ancaman terbesar kerusakan ekosistem mangrove maupun ekosistem lain yang lebih luas bila tidak segera ditangani. Sampah plastik yang ada di sungai atau laut banyak tertahan oleh akar Mangrove, yang itu menyebabkan banyak Mangrove yang masih muda tidak dapat berkembang dengan baik.
Sampah-sampah yang menyangkut di akar-akar nafas di mangrove itu akan mematikan. Terutama sampah plastik, karena plastik itu sampai sekarang belum teridentifikasi kapan punahnya. Kalau kita biarkan saja itu cukup lama akan merusak seluruh ekosistem yang ada,” ujar Hermawan Some dari Komunitas Nol Sampah.
Adanya Bank Sampah Bintang Mangrove tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan BUMN yaitu PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur, melalui program kepedulian perusahaan. Bantuan yang diberikan melalui Bank Sampah ini menurut perwakilan PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur Pinto Raharjo, diharapkan tidak hanya mengajak masyarakat peduli terhadap lingkungan, tapi juga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat di pesisir pantai timur Surabaya ini.
Diutarakan oleh Pinto Raharjo, Pengawas Program Kemitraan dan Bina Lingkungan, PLN (Perusahaan Listrik Negara) Distribusi Jawa Timur, program kepedulian perusahaan yang diwujudkan melalui bantuan mendirikan Bank Sampah ini,
“Saya berpikir bahwa dengan adanya Bank Sampah ini, tingkat kehidupan masyarakat di sini bisa meningkat dengan adanya sampah ini. Selain itu juga memancing kreativitas mereka supaya masyarakat tidak segan-segan untuk membersihkan lingkungannya, sekaligus tindakan itu berdaya guna bagi kehidupannya,” terang Pinto Raharjo.
sumber: Mongabay.co.id
Kala Tumpahan Minyak Bikin Nelayan Lampia Tak Melaut
Oli tertempel di pukat begitu kental. Berbeda dengan yang biasa ditemui ketika mengganti oli motor. Ternyata, oli itu tumpahan dari kapal tangker ketika dipindahkan menuju kilang PT Vale–perusahaan penambang nikel di Sorowako. “Saya menggunakan perahu berkeliling-keliling. Menyerok air laut, semua oli.”
Halim memperlihatkan pukat yang dipenuhi oli. Diletakkan di dekat perahu, karena tak dapat digunakan. Meskipun sudah dicuci berkali-kali, cairan lengket tak dapat hilang. Perahu katinting pun bernasib sama, perlu sepekan penuh menggosok lambungnya agar tempelan oli menghilang.
Sejak tumpahan oli jenis hight sulphur fuel Oil (HSFO) terjadi awal Ramadhan di laut Lampia, tak seorang nelayan turun ke laut. Mereka memilih mencari pemasukan lain atau sekadar menunggu perusahaan membersihkan sisa oli. “Kami tak tahu harus buat apa,” kata Halim.
Di pesisir Lampia, PT Vale membangun dua buah tangki HSFO berkapasitas 21 juta liter dan satu tangki solar kapasitas 5 juta liter, dinamakan Mangkasa Point. Pengisian tangki dilakukan beberapa kali setiap pekan. Kapal-kapal tangker dengan muatan penuh HSFO dan solar merapat ke dermaga itu.
Lampia adalah wilayah kawasan Teluk Bone. Garis pantai menyisir jalan yang menghubungkan ke Sulawesi Tenggara. Sisi lain di Desa Pongkeru. Hingga 1990-an Teluk Lampia masih surga biota laut, seperti karang, lamun, teripang, kerang ikan, lobster, dan udang-udangan. “Pada masa lalu, nelayan tak perlu menyelam untuk mendapatkan teripang, cukup berjalan-jalan di pesisir pantai,” kata Tasdim, nelayan lain.
Pertengahan 1980 kekacauan mulai terjadi ketika demam bom ikan merebak. Kawasan yang dulu kaya sumber alam laut itu perlahan hilang. Karang mulai rusak. “Tapi orang mengebom ikan di laut jauh sana. Di luar teluk ini. Orang-orang bilang, semua kekayaan laut kami hilang karena bom itu. Kami percaya.”
Kekacauan bom ikan berhenti. Masyarakat lokal kembali dengan cara-cara arif. Menggunakan bila dan rompon, atau hanya memancing. Nelayan bersatu mengusir pengebom. Teluk kembali diramaikan ikan.
Tasdim adalah nelayan tradisional pengguna pancing (beso-beso). Setiap hari atau kadang sekali dalam dua hari turun ke laut. Pendapatan sehari hingga Rp300 ribu. “Anak saya selesai kuliah dengan penghasilan sebagai nelayan.”
Namun, cerita ini sampai beberapa bulan lalu. Sejak tumpahan oli, Tasdim baru dua kali mencoba memancing ke laut. Hasilnya nihil. “Saya tak bisa mendapatkan ikan lagi. Itu laut seperti kosong,” katanya.
Masyarakat Lampia mencatat, tumpahan oli jenis HSFO dari PT Vale terjadi beberapa kali. Pertama kali 2009, kapal tangker yang bersandar di Mangkasa Point meluberkan cairan oli ke laut. Saat itu tak ada riak, masyarakat cepat diberikan kompensasi sekitar Rp70 juta akibat kerugian yang diderita.
Tahun 2012, kembali diredam dengan kompensasi. Lalu, awal 18 Juli 2014, tumpahan ketiga terjadi. Ia cukup berdampak, karena daya jangkau sampai ke desa tetangga Pongkeru.
Syafaruddin, kepala Desa Lampia, menerima laporan saat tumpahan terjadi, langsung menyusuri garis pantai. Dia mendapati genangan gelombang berwarna hitam pekat. Alat tangkap nelayan rusak. “Dari Mangkasa Point saya sampai ke Bulu Poloe yang jaraknya sekitar 10 kilometer. Saya masih menjumpai tumpahan oli itu.”
“Bahkan di salah satu titik perairan, nelayan menyelam dan saat naik ke permukaan badan seperti diluberi minyak. Di bawah air pun mata menjadi sangat perih.”
Bahkan beberapa minggu setelah tumpahan, nelayan ada yang nekat memasang pukat heran dan kaget mendapatkan hasil tangkapan tenggiri. “Padahal tenggiri ada di dasar laut. Tak pernah ke permukaan. Apa yang membuat ikan itu naik, tak ada yang tau sampa saat ini. Ini merupakan pertama kali terjadi di Lampia,” kata Syafaruddin.
Minyak tumpah berkali-kali
Dari informasi yang diterima Mongabay, HSFO yang tumpah mencapai 1.000 liter. HSFO warna lebih pekat dan sangat kental. Jika lengket di tangan, perlu berkali-kali mencuci dengan diterjen untuk bisa hilang.
Selama tiga kali pertemuan bersama PT Vale, yang difasilitasi pemerintah daerah, tak ada kesepakatan. Permintaan masyarakat menginginkan kompensasi karena tumpahan oli untuk 277 keluarga nelayan di Desa Lampia dan 68 keluarga di Desa Pongkeru Rp250.000 ribu di kalikan selama enam bulan, dianggap terlalu besar. “Tapi ini semata-mata bukan soal kompensasi, bukan soal uang. Meskipun alat tangkap nelayan rusak perlu diganti. Ini soal jangka panjang, kami tak ingin laut kami terus tercemar,” kata Syafaruddin.
Atas dasar itulah, masyarakat di Desa Lampia unjuk rasa di jalur masuk Mangkasa Point. Mereka menutup akses kendaraan dengan menumbangkan dua pohon. Mendirikan tenda dan menyampaikan aspirasi selama beberapa hari.
Nico Kanter, Presiden Direktur PT. Vale Indonesia, dalam klaim tertulis hanya mengimbau penyampaian pendapat dan aspirasi di muka umum sesuai koridor hukum dan tidak anarkis. Perusahaan selalu membuka pintu dialog untuk membahas solusi terbaik. Termasuk dengan pembentukan tim ahli yang ditunjuk pemda.
Namun siapakah yang dapat menjamin tumpahan oli tak terjadi lagi? “Dari laporan yang kami peroleh, tim ahli bergerak observasi di perairan Lampia Rabu (6 Agustus 2014). Kita tunggu apa yang mereka dapat,” kata Syafaruddin.
Sebelum itu, pertemuan dengan perwakilan Vale difasilitasi pemda. Salah seorang yang hadir Lili Lubis bagian lingkungan Vale. Dalam laporan Lili mengatakan jika kadar baku mutu air di perairan sekitar Lampia masih normal, tak ada dampak buruk dengan lingkungan. “Kami memperlihatkan limpahan oli dan membawa jala yang dipenuhi oli. Kami minta angka baku mutu, sebelum ada tumpahan dan setelah ada tumpahan. Tapi tak disanggupi,” ujar Syafaruddin.
Saya mencoba menghubungi Lili Lubis melalui pesan pendek untuk meminta penjelasan mengenai tumpahan oli di Lampia, namun tak ada tanggapan.
Syahidin Halun adalah Asisten I Bidang Pemerintahan yang ditunjuk Pemerintah Luwu Timur sebagai ketua tim teknis negosiasi dan menjadi mediator antara perusahaan dan warga, tak bisa bicara banyak. “Tim yang saya kepalai sebatas mediasi. Untuk urusan teknis dan dugaan pencemaran itu kita serahkan ke tim ahli dari Universitas Hasanuddin.”
Menurut Syahidin, tim ahli dari Universitas Hasanuddin bersama Vale dan pemda telah survei di lokasi kejadian. Mengambil sampel air dan meneliti. Diperkirakan hasil diketahui setelah enam bulan. “Dari laporan ada dua jenis oli tumpah, tapi saya tak tahu apa saja. Coba tanyakan, pada pak Mahatma (Dr. Mahatma Lanuru dosen Fakultas Ilmu Kelautan Unhas) ketua tim ahli dari Unhas.”
Ketika saya mencoba menghubungi Lanuru, dia mengirimkan pesan pendek. “Mohon maaf saya belum banyak mengetahui persoalan Vale karena survei laut di lokasi tumpahan minyak dan perairan sekitar belum kami lakukan. Mohon pengertian. Salam.”
Penanganan harus segera
Oseanografi Kimia dan Pencemaran Laut Universitas Hasanuddin, Muhammad Farid Samawi mengatakan, minyak yang tertumpah ke laut adalah pencemaran. Penanganan harus dengan cepat dan tanggap. Secara mekanis tumpahan harus dilokalisasi dengan booms selanjutnya dipindahkan dengan skimmer.
Tumpahan minyak yang tersebar telah diupayakan menggunakan sistem dispersant (penyemprotan) oleh Vale untuk memecah minyak menjadi ukuran lebih kecil. Namun tak ada yang bisa menjamin, apakah akan lenyap atau malah tenggelam ke dasar laut.
“Penggunaan dispersant apabila tidak dapat dihindari lagi, setelah penanganan mekanis tidak dapat dilakukan. Apabila dispersant yang digunakan tidak sesuai jenis minyak tumpah, akan menyisakan minyak di perairan laut. Tentu akan sangat berbahaya.”
Sistem lainnya, bioremediasi dilakukan apabila konsentrasi minyak mulai berkurang dengan penambahan nutrien untuk menumbuhkan bakteri pengurai minyak. Penggunaan absorbent (penyerap) bisa apabila minyak mencapai pantai.
Penanganan tumpahan minyak di laut diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 tahun 2006 tentang penanganan tumpahan minyak. Farid menegaskan, minyak tumpah ke laut tak boleh diabaikan, karena akan berdampak pada biota dan ekosistem laut.
Penyu Hijau Masuk Sungai Kapuas, Kok Bisa?
Akun Facebook grup Pontianak Informasi mendadak mendapat sorotan ratusan masyarakat. Ada apa? Ternyata, anggota grup, Agus Nadi, mengunggah beberapa foto penyu pada 19 Agustus. Posting disertai gambar penyu dipegang orang dewasa.
“Gan ane nemu penyu hijau di sungai dekat rumah ane. Pertanyaan ane, bagus penyu ini diapakan? Makanan penyu ini apa?” tulis Agus Nadi.
Berbagai komentar masuk, bahkan ada menawar Rp3 juta. Agus mendapat banyak permintaan pertemanan, terutama dari media massa. Keesokan, pukul 17.11, rekan Agus, Noval Riyanda, juga mengunggah foto penyu. Kali ini mereka seakan memamerkan si penyu, dengan mengangkat di bagian tempurung.
Tiga pose Noval ditautkan dengan Agus dan Rafy Bertuah. Ketiganya, tidak menyadari penyu sangat langka. Saat dihubungi via Facebook, Agus membenarkan penyu itu masuk ke sungai dekat kediamannya. “Penyu Bos, kayaknya sih penyu hijau.”
Dari Agus, diketahui penyu itu dipelihara Muhammad Rudini, warga Jalan Tanjung Harapan, Kelurahan Banjar Serasan Pontianak Timur. Karena terbatasan tempat, Rudi pun menitipkan penyu di kediaman Fathana di Gang Kejora. Mahasiswa Politeknik Untan ini menyiapkan kolam ikan di depan rumah.
Rudi mengisahkan, mereka mendapati penyu berjalan di bawah surau, Senin (18/8/14) di Jalan Tanjung Harapan. Awalnya, mereka tidak menyangka itu penyu. “Penyu masuk ke bawah surau, air semata kaki. Lalu ditangkap ramai-ramai.”
Dari penelusuran di internet Rudi dan rekan-rekannya mengetahui penyu itu tergolong langka. Namun, Rudi tidak mengetahui, kepada siapa hewan ini diserahkan.
Ketidaktahuan harus menyerahkan penyu ke mana, mereka sempat ingin melepaskan ke pantai. Rudi dan teman-teman pergi Pantai Jungkat. Karena kemalaman, pantai sudah ditutup. Penyu kembali menempati kolam berukuran 1×3 meter di depan rumah Fatan.
Lebar karapas penyu muda itu 40 cm, dengan panjang 44,5 cm. Kondisi penyu mulai lemah. Ada lecet-lecet di bawah tubuhn. Kaki dan sirip kanan sedikit terluka.
Dwi Suprapti, koordinator Konservasi Penyu WWF-Indonesia Program Kalbar, mengkonfimasi itu penyu hijau, masuk endangered species. Penyu hijau (chelonia mydas) dilindungi PP 7 Tahun 1999 dan Appendix 1 CITES, serta UU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya.
Habitat penyu di laut, kemungkinan mencapai sungai (estuaria) karena faktor tertentu. Ia dapat bertahan hidup dalam jangka waktu tertentu di air payau. Namun, kata Dwi, di sekitar DAS Kapuas, tidak ada feeding ground maupun pantai penelusuran. Hingga, memerlukan investigasi lebih lanjut mengapa penyu sampai ke Sungai Kapuas.
Dwi menyarankan, segera menghubungi Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam di Pontianak. Makin lama penyu tidak dikembalikan ke habitat, makin sedikit peluang bertahan hidup.
Kate Mansfield, peneliti biologi kelautan dari University of Central Florida, dalam laporan yang dimuat di jurnal Proceedings of the Royal Society B, 4 Maret 2014, menyatakan, pengamatan melalui satelit menemukan banyak penyu keluar dari rute migrasi dan membuat jalur sendiri. Walau Penyu muda dibekali dengan insting peta magnetik untuk mengikuti rute migrasi, namun banyak yang melenceng. Hal ini karena kumpulan rumput laut atau sargassum, yang menjadi tumpangan nyaman bagi para penyu muda sekaligus makanan bagi selama menjelajah lautan.
Penyu satwa berdarah dingin, hingga memerlukan panas eksternal untuk menaikkan suhu tubuh. Namun pola penyu muda yang mengikuti sargassum ini, mengakibatkan mereka kian terancam.
Keberadaan penyu muda masuk Sungai Kapuas, cukup menarik. Dwi mengatakan, Banjar Serasan, terletak hampir 20 kilometer dari muara sungai. “Walau bisa terbawa arus, tetapi terlalu jauh.” Dari besar karapas, Dwi memperkirakan usia sekitar 5-10 tahun.
Petugas BKSDA Kalbar, P Samosir, berterima kasih kepada anak muda yang mau menyelamatkan penyu. Evakuasi penyu Sabtu (23/8/14) dari kediaman Fathana. Rudi dan rekan-rekan menandatangani berita acara penyerahan hewan langka itu, untuk kemudian dilepasliar ke Pantai Jungkat. “Kondisi sangat lemah. Harus segera dirilis.”
Penyu hijau memiliki ciri warna kuning kehijauan atau coklat hitam gelap, cangkang bulat telur bila dilihat dari atas dan kepala relatif kecil dan tumpul. Ukuran panjang antara 80-150 cm dan berat mencapai 132 kg. Penyu hijau jarang ditemui di perairan beriklim sedang, tapi sangat banyak tersebar di wilayah tropis dekat pesisir benua dan sekitar kepulauan.
Usia kematangan seksual penyu hijau tidak pasti, sampai saat ini diperkirakan 45-50 tahun. Penyu hijau betina bermigrasi dalam wilayah luas, antara kawasan mencari makan dan bertelur, tetapi cenderung mengikuti garis pantai dibandingkan menyeberangi lautan terbuka.
Masih Diburu
Saat Festival Pesisir Paloh 2014, menyisakan cerita tersendiri. Salah satu festival sosialisasi kepada warga untuk menjaga penyu dari pencurian, baik individu maupun telur. Namun, satuan petugas pengamanan lintas Yonif 143/Tri Wira Eka Jaya berhasil menangkap pemuda yang mencoba menyelundupkan penyu di perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak Malaysia.
Nauval, warga Dusun Teluk Nibung Desa Paloh, Sabtu (23/5/14), mencoba menerobos perbatasan saat diperiksa Satgas Pamtas. “Dia tidak menghentikan kendaraan, saat anggota memeriksa warga yang akan keluar perbatasan maupun yang masuk,” kata Danton Pamtas Temajo, Lettu Kav M Eka Perwira Chandra.
Eka mengatakan, anggota TNI berhasil menghentikan Nauval dan memeriksa bawaan serta kendaraan. Nauval mengaku mendapat telur penyu dari lima pemuda di Pantai Sungai Banyuan. Dia bersama Syarif, petugas Rutan Sambas. “Mereka kami dapati membagi-bagikan telur penyu. Lalu memberi kami 31 telur penyu,” kisah Nauval.
Dia dengar, Sajudi, warga Desa Melano Sarawak, mau membeli RM80 sen per butir. Sajudi sehari-hari sebagai penjual sembako.
Dwi mengatakan, Nauval mungkin pemain baru. Semula dia menengarai warga masih mencuri dan menjadi pengumpul telur penyu.
Albert Tjiu, species officer WWF Kalbar, April lalu, menyatakan, Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara, yang kaya keragaman hayati merupakan ladang empuk pelaku perdagangan satwa ilegal.
Data Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Indonesia mengalami kerugian lebih Rp9 triliun per tahun akibat perburuan dan perdagangan satwa dilindungi. Di pasar global, perdagangan ilegal satwa liar berkisar US$10-20 miliar per tahun, atau terbesar kedua setelah bisnis narkoba.
Di Indonesia, wilayah yang termasuk rawan perdagangan satwa dilindungi adalah Pontianak, Jakarta, Medan dan daerah pesisir Sumatera. Kalimantan bahkan menjadi sumber utama perdagangan hewan dilindungi dan hampir punah yakni trenggiling.
Rute dimulai dari Kudat (Sabah) ke Johor Bahru (Peninsular Malaysia) lalu dari Philipina ke Kudat dan Sandakan hingga dari Kalimantan Barat ke SarawakLimbang (Sarawak) menuju ke Tawau lalu ke China.
Menurut Albert, China menjadi pasar terbesar perdagangan satwa liar ini. “Di China masih ada kepercayaan satwa liar memiliki khasiat manjur.”
Modus, dengan menyembunyikan dalam kontainer, badan, tas, dan jalan pemalsuan dokumen. Albert meyakini, sebelum 2000-an perdagangan satwa dilindungi bersamaan dengan penyelundupan kayu (terutama orangutan dan kelempiau). Lalu, dicampur yang legal dan mirip, menggunakan kapal penumpang dan berlindung di balik kepentingan adat.
Wow, Indahnya Keanekaragaman Hayati Bawah Laut Pulau Sumbawa
Potensi keanekaragaman hayati bawah laut Sumbawa dan Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, memang mengagumkan. Wilayah yang masuk dalam Lesser Sunda Seascape ini merupakan habitatnya terumbu karang yang ada di dunia.
Survei yang dilakukan Wildlife Conservation Society (WCS) dan Marine Protected Areas Governance (MPAG) bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumbawa, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumbawa Barat berhasil mengidentifikasi dan menginventarisai potensi sumber daya pesisir dan laut di sekitar perairan Pulau Sumbawa tersebut.
Kegiatan yang dilakukan tanggal 9-27 Juni 2014 ini dipusatkan di 30 titik pengamatan yang mewakili gugusan Gili Balu’, Perairan Lunyuk, Pulau Moyo, Pulau Panjang, serta Perairan Teluk Saleh.
Hasilnya, terdata 69 genera karang keras yang berasal dari 16 famili karang keras dengan rata-rata tutupan sebesar 38,08% (kategori sedang). Sementara, tutupan karang keras tertinggi ditemukan di lokasi pengamatan Selatan Pulau Liang, Teluk Saleh sebesar 70,5% (kategori baik). Sedangkan yang terendah ditemukan di lokasi pengamatan Pulau Temudong sebesar 5,75% (kategori buruk).
Dari hasil survei juga banyak ditemukan terumbu karang yang rusak. Ini ditandai adanya patahan karang yang menghitam sebagai dampak penangkapan ikan menggunakan bahan peledak (bom).
Meski demikian, 9 dari 30 lokasi pengamatan yang dilakukan menunjukkan kondisi tutupan karang keras yang baik dengan nilai tutupan karang hidup di atas 50 persen. Ini terlihat di bagian Utara Pulau Ngali, Selatan 1 Pulau Liang, Selatan 2 Pulau Liang, Utara Pulau Liang, Pulau Bedil, Pulau Ranggi, Pulau Mandiki, Utara Pulau Belang dan Timur Pulau Belang.
Pertumbuhan karang baru (recruitment) juga ditemukan di Pulau Moyo, Pulau Saringgit, Pulau Kenawa dan Gili Ranggi dengan nilai di atas 6 (no.m-2). Selain itu, tim peneliti juga menemukan jenis karang yang hanya ditemukan di wilayah terbatas pada Lesser Sunda yaitu Acropora suharsonoi.
Effin Muttaqin, peneliti karang WCS, mengatakan kondisi tutupan karang keras yang baik serta kemunculan karang-karang baru menandakan adanya suksesi pemulihan pasca-gangguan dan kerusakan. Karang-karang yang baru tumbuh akan memberikan suplai planula (benih karang) sehingga kelanjutan populasi dapat dipertahankan.
Effin menjelaskan, tim peneliti juga mencatat 352 spesies yang berasal dari 123 genera dan 43 famili ikan karang. Rata-rata, biomassa ikan karang sebesar 320,7 kg.ha-1. Biomassa tertinggi ditemukan di Perairan Lunyuk yaitu sebesar 622,67 kg.ha-1, sedangkan terendah di Gili Kramat sebesar 71,13 kg.ha-1.
Berdasarkan kelompok trofik, hampir 60% ikan karang di perairan Sumbawa didominasi kelompok planktivora, benthik invertivora, dan omnivora. Yaitu, kelompok ikan yang mayoritas dari famili Caesionidae (ekor kuning dan pisang-pisang), Labridae (keling-kelingan), dan Pomacentridae (betok laut). Sedangkan jenis ikan pemakan polip karang (koralivora), pemakan alga (herbivora), dan pemakan daging (karnivora) ditemukan sangat sedikit jumlahnya.
Tasrif Kartawijaya, Koordinator Program Lombok-WCS Indonesia Program, mengatakan berdasarkan survei keseluruhan Pulau Sumbawa memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi. Potensi tersebut perlu dikelola dengan menerapkan tiga strategi pengelolaan kawasan konservasi perairan, yaitu dengan penguatan kelembagaan, pengelolaan sumber daya alam, dan peningkatan sosial-ekonomi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada forum World Ocean Conference di Manado pada 2009 telah mencanangkan target luasan konservasi sebesar 20 juta hektar tahun 2020 nanti. Hingga Desember 2013, upaya tersebut telah mencapai 15,7 juta hektar. Tahapan pencadangan konservasi perairan ini dilakukan melalui identifikasi dan inventarisasi potensi biofisik, yang salah satunya adalah melalui ekosistem terumbu karang.
Langganan:
Postingan (Atom)