Selasa, 09 September 2014

Kisah Dua Ikan: Tantangan Berat Menunggu Bagi Masa Depan Pengelolaan Perikanan Laut di Indonesia (Bagian 3)



Para nelayan melaut di Selat Bali di tengah malam, dua perahu diikat menjadi satu. Foto © 2014 Melati Kaye.
Dibandingkan dengan kementerian kelautan lain di seluruh dunia, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Indonesia barulah seumur jagung. Kementerian ini baru saja terbentuk 13 tahun yang lalu, sebuah fakta mengejutkan untuk negara yang dua pertiga wilayahnya adalah kawasan maritim dan sebagian besar dari 250 juta populasi negaranya bergantung pada ikan, baik untuk pasokan protein maupun memperoleh penghasilan.
Jadi mengapa Indonesia memerlukan waktu lama untuk membentuk kementerian kelautan?
Selama 32 tahun pemerintahan Soeharto yang akhirnya digulingkan, semua kekuasaan terpusat di perkotaan Jawa dan elit militer. Pulau-pulau terluar dan desa-desa pesisir, tempat bermukimnya sebagian besar nelayan, nyaris terabaikan. Bahkan menurut perkiraan Bank Pembangunan Asia, hampir satu dari dua orang Indonesia yang hidup dengan pendapatan kurang dari dua dolar (sekitar 24.000 rupiah) perhari, adalah mereka yang hidup di kepulauan Maluku dan Papua.
Paska gelombang reformasi, KKP yang baru terbentuk itupun langsung bergerak untuk mengejar ketertinggalannya. Program desentralisasi dalam bidang perikanan diterjemahkan dalam langkah-langkah nyata seperti menambah jumlah kapal patroli di pesisir laut, perekrutan para petugas di tingkat lokal, membangun terumbu karang buatan di sisa puing karang yang telah dibom, stok ulang dasar pesisir dengan kima, dan penyediaan pinjaman nelayan untuk membangun kapal yang lebih besar, -yang dilengkapi GPS, yang memungkinkan mereka berlayar lebih jauh di Samudera Hindia.
Semua hal tersebut patut dihargai, tutur Yvonne Sadovy, ahli biologi kelautan University of Hong Kong. Namun, upaya tersebut tidak cukup untuk menyentuh ke akar krisisnya, yaitu hilangnya spesies dan praktik penangkapan ikan yang turut merusak lingkungan.
Sadovy, ahli ikan karang Asia Tenggara, sedikit bosan mendengar penjelasan yang masih melulu berkutat sekitar argumen “manajemen yang lebih baik adalah solusi penyelesaian masalah”; seperti “budidaya perikanan”, “kawasan konservasi”, “terumbu buatan dan re-stoking”. Menurutnya, solusi ini belumlah sampai menyentuh akar permasalahan yang solid.
Sadovy dan para ahli lainnya meyakini bahwa hanya lewat pengelolaan berbasis ekosistemlah maka perikanan di Indonesia dapat dikembalikan pada kondisi yang berkelanjutan. Kementerian pun mulai menyadarinya, seperti yang terlihat baru-baru ini lewat serangkaian inisiatif yang merangkul kerjasama para pihak internasional dan LSM.


Nelayan membongkar ikan hasil tangkapan satu minggu melaut di pelabuhan di Makassar. Foto © 2014 Melati Kaye.

Untuk mengatasi masalah secara sistematis, diperlukan jalur tiga langkah. Pertama, pemerintah perlu menilai kembali luasan over fishing dan kerusakan habitat melalui perhitungan statistik yang andal. Kedua, menempatkan angka-angka ini dalam konteksnya, -dengan memahami interaksi antar spesies yang berada dalam jaring rantai kehidupan laut; Terakhir, penyusunan batas tangkapan laut yang bijaksana, termasuk menjalankan kejelasan zona batas tangkapan yang efektif dan zona larangan tangkap.
Daftar tidak cukup sampai disini saja, yang lebih penting adalah realisasi dalam tiap tahap yang sampai sekarang masih cukup membuat hati terasa miris. Ambilah contoh data perikanan sarden yang ada di Muncar, Jawa Timur.  Untuk mendapatkan data populasi ikan sarden, peneliti perlu melakukan sounders ikan dan jaring sampel. Sejauh ini survei ilmiah ini sangat jarang dilakukan di Muncar, sekitar sepuluh tahun sekali, lebih jarang dari fenomena kemunculan El Nino.
Dengan interval survei seperti itu, petugas hanya mampu mengira-ngira hasil tangkapan sarden berdasar pada hasil laporan nelayan semata. Sampel ikan hanya diambil dari keranjang sarden yang hendak berangkat ke industri pengalengan, itupun jika kendaraan pengangkutnya melewati kantor pelabuhan.
Menurut Sadovy, hal serupa juga dialami semua ikan napoleon wrasse dan kerapu yang ditangkap hidup-hidup dari perairan Sulawesi ke tujuan akhir di pasar Hong Kong. Ikan-ikan tersebut sering disalahlabeli sebagai “ikan karang” untuk menghindari pembatasan impor.
Kelalaian seperti itu lebih dari sekadar nilai ekonomis saja. Lebih penting adalah mengenali dampak apa yang bakal terjadi dalam jejaring rantai makanan tersebut. Eksploitasi berlebihan ikan sarden, yang berada dalam dasar rantai makanan, maupun ikan kerapu, yang berada sebagai puncak predator, dapat memicu efek domino bagi keseluruhan ekosistem.


Perahu akan merapat di pelabuhan setelah mengarungi selat Bali. Satu perahu biasanya diawaki oleh sekitar 55 kru. Foto © 2014 Melati Kaye.

Bukanlah tugas mudah untuk memantau 8 juta km persegi kawasan Zona Eksklusif Indonesia (ZEE) agar benar-benar lepas dari metode penangkapan yang merusak.
“Hanya saja kami tidak memiliki cukup kapal dan kapal yang sekarang kita miliki terlalu kecil,” jelas Johnny Banjarnahor. Johnny adalah kepala kapal patroli anti illegal fishing KKP 27, komponen penting penegakan hukum kelautan di Indonesia.
“Ketika gelombang tenang, kami patroli di perairan luar, memantau kapal pukat asing ilegal dan kapal long-line. Ketika cuaca buruk, kami merapat lebih dekat ke pulau-pulau, menargetkan para pengguna sianida dan pemboman karang. Tapi kami bukan saingan kapal asing yang lebih besar yang masih dapat kabur ke laut saat cuaca buruk. Saat kapal kami dikenali, mereka menghilang setiap kali kami mau dekati.”
Daripada diambil oleh para penyusup asing, muncullah wacana untuk membekali nelayan Indonesia dengan kapal besar yang mampu menjelajah laut lebih jauh. Jeremy Prince, peneliti utama stok ikan dari The Nature Conservancy, menyebutkan “alih-alih menambah produksi hasil laut lewat penambahan kapal, lebih baik mengurangi panen ikan sehingga stok alam dapat kembali pulih.”
Menurut Prince, model ini sangat mirip dengan upaya penghematan fiskal yang sering tidak populer. Baginya penghematan di sektor maritim akan lebih mudah terlaksana pada saat masa panen, bukan pada masa paceklik.
“Jauh lebih mudah dilakukan ketika para nelayan sudah sejahtera, sehingga mereka tidak perlu melaut dalam jangka waktu tertentu atau mau menangkap dalam jumlah yang lebih sedikit.”
“Tapi (realitanya) mana ada sih pemerintahan demokratis yang bisa meminta rakyatnya (yang miskin) untuk menahan lapar dengan iming-iming nanti akan lebih banyak ikan di masa depan,” jelasnya mengakui.
Namun demikian, rekomendasi senada pun telah muncul dari Pusat Penelitian Perikanan dan Konservasi Sumberdaya, yang telah melakukan penilaian stok ikan berbasis ekosistem. Pertama kali rekomendasi ini keluar tahun lalu untuk perikanan laut Muncar di Selat Bali.
Purwanto, peneliti senior di tim survei KKP, mengungkapkan rekomendasi untuk perikanan sarden di Muncar, yaitu: “perlu ada kontrol bagi usaha penangkapan ikan, dan perlu upaya untuk mengembangkan sumber-sumber pendapatan alternatif selama masa paceklik ikan.” Ditambahkan dalam rekomendasi itu, pentingnya pembicaraan diantara dua Pemprov, yaitu Jawa Timur dan Bali.


Hasil tangkapan ikan dibongkar di pelabuhan di Makassar, Sulawesi Selatan. Kearifan lokal menyebutkan tanda-tanda ikan yang didinamit yaitu ikan robek perut dan merah di sekitar mata ikan. Pemboman umum dilakukan oleh nelayan karena akan diperoleh jumlah ikan yang lebih banyak daripada  cara jaring tradisional atau pancing. Foto © 2014 Melati Kaye.

Namun, laporan tersebut ternyata belum sampai ke pejabat daerah seperti Pujo Hartanto, Kepala Divisi Perikanan Banyuwangi. Hanya lewat naluri dan pengalaman panjang, dia tahu kapan masa persiapan paceklik dan masa panen ikan terjadi.
“Produksi ikan naik turun, kita tidak bisa mengendalikan itu, jika nelayan tidak melaut, setidak-tidaknya mereka dapat memelihara udang lewat akuakultur,” jelasnya. Dia pun menambahkan perlunya ada upaya pembatasan penggunaan lampu sorot di laut dan perbaikan tambak udang lokal sebagai pendapatan alternatif bagi nelayan.
Di sisi lain selat, di pulau Bali, solusi yang lebih maju telah dilakukan. Di Jembrana, masyarakat mulai menanami kembali tambak udang dengan mangrove guna memulihkan spesies ikan. Di Pemuteran, Bali Utara, penduduk desa telah membangun salah satu sistem terumbu karang buatan terbesar di dunia, lewat bantuan teknis dari Jerman dan Amerika.
Penjagaan terumbu karang lewat patroli laut di Teluk Pemuteran sangatlah unik. Para pecalang menggunakan kapal patroli yang terbuat dari fiberglass, berpenampilan modern berkacamata hitam , tetapi berkombinasi ikat kepala merah tua dan sarung kotak-kotak hitam dan putih tradisional khas pecalang Bali, atau wali candi. Mereka ini merupakan bagian dari inisiatif KKP dalam merekrut tenaga patroli lokal untuk melengkapi jumlah patroli kementerian yang terbatas.
Tenaga semacam ini juga dapat ditemukan di pantai Maluku dan Lombok, dan rencana serupa untuk tempat lain di kepulauan Nusantara.
Indikator awal menunjukkan bahwa patroli pecalang laut di Pemuteran berjalan sangat baik. Lumba-lumba, yang sebelumnya telah meninggalkan teluk karena pemboman karang, telah mulai kembali dalam lima tahun terakhir ini.


* Melati Kaye, menulis untuk program Mongabay.Org Special Reporting Initiative Fellow,  dibawah aturan Creative Commons Attribution-Non Derivatives 4.0 International License Tulisan ini adalah bagian ketiga dari seri tulisannya yang dipublikasikan di Mongabay.  Tulisan lainnya dapat dilihat di sini:
http://www.mongabay.co.id/2014/07/12/kisah-dua-ikan-pancing-sianida-dan-para-bos-asing-di-pesisir-sulawesi-bagian-i/
http://www.mongabay.co.id/2014/08/09/kisah-dua-ikan-perebutan-sarden-di-selat-bali-bagian-2/
http://www.mongabay.co.id/2014/08/19/kisah-dua-ikan-masa-depan-perikanan-indonesia-bagian-4-tamat/

Tulisan ini diterjemahkan oleh: Hilda Lionata
Sumber: Mongabay.co.id

0 komentar:

Posting Komentar