Selasa, 09 September 2014

Kisah Dua Ikan: Pancing Sianida dan Para Bos Asing di Pesisir Sulawesi (Bagian I)

Facebook34Twitter16LinkedIn1Google+3Email

Nelayan di kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan di atas kapal dan alat penangkap ikannya. Foto: © Melati Kaye/2014
Musim badai baru saja usai, seperti biasa kapal-kapal nelayan kembali mengangkat sauh dari pulau kecil Kondingareng di kepulauan Spermonde (kepulauan Sangkarang), lepas pantai Makassar, Sulawesi Selatan.  Di siang yang terik itu, Abdul Wahid bergabung bersama para nelayan lain di bawah naungan sempit jejeran rumah desa tepi pantai untuk memeriksa harga ikan harian.
Di pasar itu ikan makarel spanyol berukuran tiga-kilo dihargai 42.000 rupiah dan ikan pakol 24.000 rupiah. Namun satu-satunya harga yang sesungguhnya diminati Wahid adalah harga kerapu sunu senilai 360 ribu rupiah/kg di tempat ini, di Sulawesi. Ikan yang sama akan dihargai 1,2 juta rupiah/kg bila dalam keadaan hidup segera dibawa ke Hong Kong dengan pesawat udara atau kapal cepat.
Bagi Wahid, maestro penangkap kerapu, ia harus mampu menangkap ikannya hidup-hidup dari gua-gua karang berkedalaman kurang lebih seribu meter di bawah laut. Ia harus menangkap ikan-ikannya dalam keadaan utuh sempurna, tidak ada luka atau goresan. Hanya dalam keadaan seperti itu barulah ikannya layak disajikan di meja makan restoran mewah di Asia Timur, yang merupakan tujuan akhir mereka.
Wahid dapat melakukannya hanya dengan pancingan, kemampuan yang membuatnya terkenal bak selebriti lokal. Kerapu sunu (Plectropomus leopardus) dapat melawan, berukuran besar, berumur panjang, dan cerdik. Di tangan nelayan yang kurang terampil perangkap/bubu logam atau kait akan meninggalkan tanda-tanda perlawanan sehingga akan mengurangi nilai jual ikan.
Namun demikian kerapu terlalu menggoda untuk dilewatkan sebagai target, baik karena harga jual premiumnya dan karena mudahnya menduga musim kawin serta tempat mereka mencari makan. Jadi kebanyakan nelayan memilih untuk mengambil jalan pintas yang cepat dan handal meski ilegal, yaitu membius ikan dengan racun sianida sehingga dapat dibawa dalam keadaan hidup dan utuh.


Ikan kerapu sunu segar dapat berharga hingga Rp 360 ribu, namun ikan yang telah mati hanya dihargai sepertiganya, untuk membuat ikan pancingan tidak terluka saat ditangkap terkadang nelayan mempraktekkan penggunaan bius sianida. Foto: © Melati Kaye/2014

Menurut data Kementrian Kelautan dan Perikanan, Indonesia adalah pemasok ikan karang hidup terbesar di dunia, 2.414 ton kerapu senilai 19.043.534 dolar atau sekitar 228 miliar rupiah dikirim ke Hong Kong pada tahun 2012. Beberapa pakar industri memperkirakan jumlah ekspor ikan hidup sebenarnya jauh berkali lipat lagi jika pengiriman tidak tercatat atau ilegal diperhitungkan.
Namun perdagangan yang dilakukan ini harus dibayar dengan biaya tinggi. Sistem tangkap yang tidak berkelanjutan, yang cenderung menyasar populasi predator puncak seperti kerapu akan memicu seri gangguan dalam jejaring rantai makanan di laut. Demikian pula, penurunan jumlah spesies lokal akan memaksa nelayan untuk memutakhirkan peralatan mereka serta memperluas wilayah jangkauan tangkap mereka yang pada akhirnya sering membuat mereka jatuh pada belitan para lintah darat.
Sementara itu menyirami karang dengan racun sianida juga akan menghancurkan keragaman spesies yang ada di terumbu karang (yang mana Indonesia merupakan gudangnya keanekaragaman spesies terkemuka di dunia). Terumbu yang rusak juga meninggalkan pulau yang rapuh, yang membuat pulau menjadi rawan abrasi dan mudah terhantam terjangan badai langsung.
Kerusakan dimulai pada tingkat mikro. Sianida, racun pernapasan, mengganggu hubungan simbiosis antara karang dan alga zooxanthellae yang tumbuh di permukaan karang. Karang melindungi alga dan menyediakan komponen nutrisi untuk fotosintesis. Sebaliknya, ganggang memasok oksigen dan karbohidrat sebagai bahan terbentuknya lemak karang dan kerangka kalsium karbonatnya.
Sianida menekan terjadinya fotosintesis dan menyebabkan ganggang memisahkan diri dari karang inangnya yang pada akhirnya membuat pemutihan karang. Dalam suatu percobaan pada tahun 1999 para peneliti di Sydney University menemukan bahwa karang yang direndam dalam larutan sianida selama sepuluh menit, dalam dosis setengah yang biasa dipakai oleh nelayan, akan mati dalam waktu hanya 24 jam.


Kerapu sunu siap diberangkatkan ke Hongkong dari Makassar. Foto: © Melati Kaye/2014

Pemutihan karang oleh sianida terbukti menjadi akhir kejayaan bagi terumbu karang Kondingareng. Di luar desa tepi pantai menurut tetangga Wahid, Faizal Wahab, dulunya ada jajaran karang lepas pantai penuh dengan gerombolan ikan. Tapi kemudian para pelaku pengguna dinamit yang menyasar kumpulan ikan menghancurkan karang menjadi puing dan pengguna sianida memutihkan sisa karang yang masih ada. Akhirnya para penduduk desa menambang karang mati untuk membuat pemecah gelombang guna menopang hidup dari apa yang tersisa di pantai mereka.
Sekarang ketika badai datang, tidak ada lagi yang tersisa di pantai untuk menahan gelombang. Gelombang yang naik hingga mencapai sepuluh meter dan langsung menghantam ke rumah-rumah. “Selama musim hujan kami harus menyapu pasir yang dibawa gelombang dari balkon lantai dua kami,” ujar Wahid sambil tertawa getir.
Badai seperti itu juga cepat menggerogoti tanah. Wahid menatap sekitar 20 meter ke laut: “pantai kami dulunya sampai sana”.  Analisa data satelit mengkonfirmasi pernyataan ini dimana sejak 2005 Kondingareng telah kehilangan 23 persen daratannya, sebagaimana hasil penelitian Profesor Dewi Badawing dari Universitas Hasanuddin Makassar.
Bila sianida menyusahkan terumbu, apalagi bagi kehidupan spesies kerapu. Napoleon Wrasse, jenis ikan kerapu raksasa bersirip tinggi yang merupakan jenis yang paling mahal, menjadi semakin mudah ditemukan oleh nelayan. Ahli biologi Yvone Sadovy dari Hong Kong University menyebutkan wrasse hidup lebih lama dari ikan karang lain dan memiliki tempat makan dan siklus pemijahan yang dapat diprediksi.
“Kerapu besar memangsa ikan kerapu yang lebih kecil, yang pada gilirannya membuat jumlah mereka semakin jauh di bawah garis populasinya. Jadi mengambil kerapu yang lebih besar memiliki efek melumpuhkan dalam keseimbangan jejaring rantai makanan,” tutur Sadovy yang juga merupakan peneliti ikan kerapu dan wrasse, jenis yang tergolong hampir punah dalam daftar IUCN ini.
Terlebih lagi dengan menargetkan jenis ikan terbesar dari antara jenis ikan-ikan besar, para pengguna sianida mengacaukan kehidupan seks kerapu yang rumit. Menurut Sadovy, ikan ini adalah “hermafrodit protogynous” yang artinya mereka mengubah kelamin di sepanjang perjalanan siklus hidup mereka. Mereka menghabiskan dua tahun pertama mereka memijah sebagai seekor betina dan kemudian beralih menjadi jantan. Jadi penangkapan ikan yang besar dalam populasinya akan mendorong rasio jenis kelamin condong ke satu sisi yang akan mempercepat berkurangnya jenis tersebut.
Ketika populasi kerapu Spermonde hancur nelayan harus melaut lebih jauh lagi. Mereka mendaftar untuk berlayar selama tiga sampai empat bulan hingga ke tepi timur samudera di Indonesia, yang selanjutnya akan semakin memperluas lingkup kerusakan lingkungan yang dibuat. Karena usaha melaut tersebut berada di luar kemampuan kebanyakan para kapten lokal, mereka mencari dana dari para “bos” di luar, seperti bos dari Thailand atau Hong Kong.
Seorang nelayan pengguna sianida (yang namanya dirahasiakan agar tidak dipenjara untuk ketiga kalinya) mengingat bagaimana dia direkrut dalam usaha tersebut ketika para makelar ikan pertama kali datang ke pulau itu pada tahun 2007. Seperti perusahaan modern lainnya, mereka menguji karyawan baru mereka dengan masa magang. Setelah mengajarinya beberapa teknik, mereka kembali tiga bulan kemudian untuk memeriksa kualitas ikan kerapu yang dia tangkap.


Kerapu sunu (Plectropomus leopardus) yang akan dikirim ke Hongkong dari sebuah gudang di Makassar. Informasi dari nelayan, pembeli, pemilik gudang ikan kerapu yang ditangkap di Spermonde dapat tiba di Hongkong dalam dua hari. Foto: © Melati Kaye/2014

Para bos sianida meniru cara lain yang digunakan perusahaan-perusahaan modern yaitu memberi modal yang rendah. Irendra Rajawali, seorang peneliti Indonesia di Leibniz Center for Tropical Ecology di Bremen, Jerman, telah membuat studi tentang jaringan patron dalam perdagangan kerapu. Satu “bos besar” mengatakan pada Rajawali bahwa ia sengaja memberikan uang dan bensin yang terbatas kepada nelayan sehingga mereka tidak dapat pulang kembali ke Spermonde dengan mudah, akibatnya “mereka tidak punya pilihan lain kecuali terus melaut.”
Namun bukan juga berarti mereka memiliki banyak pilihan. Dengan adanya perubahan iklim para nelayan mungkin pergi melaut berbulan-bulan karena tidak ada gunanya tinggal di rumah antara bulan November dan Maret. Badai diperkirakan akan semakin parah dan musim badai yang lebih lama di Spermonde merupakan akibat dari meningkatnya suhu lautan. Wawancara terhadap rumah tangga yang dilakukan Leibniz Center menemukan bahwa penduduk desa terbelenggu di rumah selama musim badai, mereka bahkan tidak mampu melakukan satu jam perjalanan dengan perahu ke Makassar di daratan Sulawesi untuk membeli kebutuhan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah ada masa depan bagi para nelayan Spermonde? Dengan ikan yang habis, badai yang memburuk dan terumbu karang sebagai pelindung badai yang sudah hancur, akankah nelayan pada akhirnya terpaksa bermigrasi dari kepulauan ini?
Untuk mencegah masa depan seperti itu diperlukan peraturan perikanan yang jauh lebih baik. Pemerintah dan masyarakat setempat harus menegakkan larangan terhadap pemboman dan penggunaan sianida. Meskipun banyak nelayan berakhir di penjara untuk kejahatan-kejahatan ini, jarang ada yang dibawa hingga diproses ke pengadilan. Sebaliknya, mereka bisa diselamatkan oleh para “bos” dan segera dapat balik melaut.
Suatu proses pemantauan penangkapan yang lebih baik juga akan mampu menjelaskan nilai tambah di setiap tahap pasar ikan hidup, mulai dari ikan ditangkap di terumbu hingga ia berakhir di wajan. Hal ini pun akan memberikan daya dorong bagi nelayan dan pemerintah atau LSM guna menetapkan perdagangan dan pembagian keuntungan yang lebih adil.
Pemantauan yang lebih baik juga akan memberikan dasar untuk rezim pengelolaan perikanan yang lebih ilmiah. Pendugaan siklus hidup kerapu dapat digunakan sebagai basis perencanaan untuk membuat sebuah sistem zona non-pancing dan membuat pembatasan musiman untuk menghentikan, bahkan pada akhirnya membalikkan jumlah populasi kerapu yang telah terlanjur hilang.
Meskipun demikian jika hal tersebut terlaksana maka jumlah armada penangkapan ikan Spermonde harus dikurangi, hingga hanya segelintir tukang sangat terampil seperti Abdul Wahid yang tersisa. Sebagian besar nelayan kerapu, termasuk para nelayan pengguna sianida, harus dicarikan alternatif mata pencarian usaha lainnya.
Namun sejauh ini proses ini sudah berlangsung, banyak generasi nelayan muda atas kemauan sendiri beralih dari menangkap kerapu ke berburu teripang di sepanjang perbatasan laut antara Australia dan Indonesia. Adapun yang lainnya mencoba peruntungan mereka di budidaya yang lebih berkelanjutan seperti yang disponsori oleh universitas ataupun yang berasal dari inisiatif perusahaan.

* Melati Kaye, menulis untuk program Mongabay.Org Special Reporting Initiative Fellow,  dibawah aturan Creative Commons Attribution-Non Derivatives 4.0 International License.  Tulisan ini adalah bagian pertama dari seri tulisannya yang dipublikasikan di Mongabay.  Tulisan selanjutnya dapat dilihat di sini:
http://www.mongabay.co.id/2014/08/09/kisah-dua-ikan-perebutan-sarden-di-selat-bali-bagian-2/
http://www.mongabay.co.id/2014/08/14/kisah-dua-ikan-tantangan-berat-menunggu-bagi-masa-depan-pengelolaan-perikanan-laut-di-indonesia-bagian-3/
http://www.mongabay.co.id/2014/08/19/kisah-dua-ikan-masa-depan-perikanan-indonesia-bagian-4-tamat/

Tulisan ini diterjemahkan oleh: Hilda Lionata
 sumber: Mogabay.co.id

0 komentar:

Posting Komentar